Sebuah
fenomena alam terjadi beberapa saat sebelum Gunung Kelud meletus. Harimau,
kera, rusa, hingga ular tampak berbondong-bondong turun dari gunung yang
kemudian mengalami erupsi pada Kamis (13/2) malam sekitar pukul 22.50 WIB itu.
Mengapa
hewan-hewan itu seakan memberikan pertanda bahwa Gunung Kelud akan meletus
sebentar lagi? Berikut penjelasan dari segi sains dan agama.
"Kemarin sore, ada tanda-tanda alam di Jawa Timur. Alam memberikan sinyal, di samping data ilmiah yang kita monitor. Ada harimau, ular, dan kera yang turun dari Gunung Kelud. Alam memberi tanda bahwa sebentar lagi Kelud meletus," ucap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik, seusai rapat terbatas dengan Presiden di Kantor Kepresidenan, Jumat (14/2) seperti dikutip Tribunnews.
"Kemarin sore, ada tanda-tanda alam di Jawa Timur. Alam memberikan sinyal, di samping data ilmiah yang kita monitor. Ada harimau, ular, dan kera yang turun dari Gunung Kelud. Alam memberi tanda bahwa sebentar lagi Kelud meletus," ucap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik, seusai rapat terbatas dengan Presiden di Kantor Kepresidenan, Jumat (14/2) seperti dikutip Tribunnews.
Kepala Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Surono, mengatakan fenomena ini
sebenarnya bisa terjelaskan secara ilmiah. Menjelang letusan Kelud pada tahun
1990, Surono memasang alat pemantau akustik di gunung itu untuk kepentingan
disertasinya di Universitas Grenoble, Perancis.
Dia memasang alat yang bisa memantau gelombang suara berfrekuensi rendah (0,1-50 Hz), menengah (200 Hz- 5.000 Hz), dan tinggi (di atas 15 kHz).
Dia memasang alat yang bisa memantau gelombang suara berfrekuensi rendah (0,1-50 Hz), menengah (200 Hz- 5.000 Hz), dan tinggi (di atas 15 kHz).
”Saya
memasang tiga alat pendeteksi frekuensi itu untuk mengetahui mekanisme yang
terjadi di tubuh Kelud saat kegiatannya meningkat,” ujarnya seperti dikutip sains.kompas.com.
Menjelang
Kelud meletus pada 1990, gunung ini sangat tenang dan sepi dari gempa sehingga
diperlukan indikator lainnya, yaitu suara. ”Sebelum gunung meletus, ada tekanan
fluida (bisa berupa gas, uap air, atau magma) yang mendorong sumbat gunung,”
katanya. Namun, tekanan ini masih bisa ditahan sumbat gunung itu. Batuan juga
memiliki daya elastisitas tertentu.
Ketika ditekan, dia akan melentur sebelum pada suatu titik akan jebol. Dorongan tekanan tinggi yang membentur sumbat gunung itulah yang memunculkan frekuensi tinggi yang suara bisingnya hanya bisa didengar hewan tertentu.
”Pada saat itulah hewan-hewan yang tak tahan suara bising ini berlarian turun dari gunung,” kata Surono.
Ketika ditekan, dia akan melentur sebelum pada suatu titik akan jebol. Dorongan tekanan tinggi yang membentur sumbat gunung itulah yang memunculkan frekuensi tinggi yang suara bisingnya hanya bisa didengar hewan tertentu.
”Pada saat itulah hewan-hewan yang tak tahan suara bising ini berlarian turun dari gunung,” kata Surono.
Suara dengan
frekuensi tinggi ini tidak bisa didengar manusia yang hanya mampu mendengar
suara dengan frekuensi 20 Hz- 20 kHz. Berbeda dengan binatang, misalnya
kelelawar atau lebah, yang bisa menangkap suara dengan frekuensi hingga di atas
100 kHz.
Dari segi
agama, inilah kasih sayang Allah kepada makhluknya. Gunung dan hewan-hewan yang
membentuk ekosistem di atasnya adalah sama-sama makhluk Allah. Mereka memiliki
kesamaan yakni tunduk kepada Allah, namun berbeda dalam cara ketundukannya.
Mereka juga sama-sama “menolak” amanah dari Allah dengan alasan tidak sanggup
menjalankannya.
“Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia...” (QS.
Al-Ahzab : 72)
Gunung yang
tidak sanggup menerima amanah tersebut, mendapatkan amanah lain sebagai
penyeimbang bumi.
“Dia
menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan
gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan
memperkembang biakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan
air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan
yang baik.” (QS. Luqman : 10)
Fungsi
gunung sebagai pasak ini telah dijelaskan secara ilmiah oleh Harun Yahya dalam
beberapa buku dan video-nya.
Sebagaimana
manusia dan makhluk hidup lain yang bisa sakit dan mati, gunung juga memiliki
ajal dan takdir. Kapan ia meletus dan kapan ia berubah dari gunung berapi aktif
menjadi separuh aktif, juga dari separuh aktif menjadi mati.
Saat gunung akan mengalami erupsi, Allah memberikan rahmatNya kepada makhlukNya yang lain diantaranya dengan mengirim frekuensi tinggi yang membuat hewan-hewan merasa terancam bahaya dan turun menjauh dari pusat letusan.
“Sesungguhnya Allah memiliki 100 rahmat. Salah satu
di antaranya diturunkanNya kepada kaum jin, manusia, hewan, dan tetumbuhan.
Dengan rahmat itulah mereka saling berbelas kasih dan menyayangi. Dengannya
pula binatang liar mengasihi anaknya. Dan Allah mengakhirkan 99 rahmat untuk
Dia curahkan kepada hamba-hamba-Nya pada hari kiamat.” (Muttafaq ‘alaih)Saat gunung akan mengalami erupsi, Allah memberikan rahmatNya kepada makhlukNya yang lain diantaranya dengan mengirim frekuensi tinggi yang membuat hewan-hewan merasa terancam bahaya dan turun menjauh dari pusat letusan.