:::: MENU ::::

Informasi Bisnis dan Umum

Sering kita mendengar di kalangan kaum muda yang baru menikah, bahkan seakan menjadi bahan candaan bahwa malam Jum’at selalu di gunakan untuk ber Jima’ (bersetubuh dengan istri). Lantas kapan waktu yang tepat untuk berhubungan intim yang sesuai sunah?
Pertama, ada keadaan dimana seorang suami dianjurkan untuk mendatangi istrinya. Keadaan itu adalah ketika suami tidak sengaja melihat wanita dan dia terpikat dengannya. Anjuran ini berdasarkan hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, :
Wanita itu, ketika dilihat seperti setan (punya kekuatan menggoda). Karena itu, jika ada lelaki melihat wanita yang membuatnya terpikat, hendaknya dia segera mendatangi istrinya. Karena apa yang ada pada istrinya juga ada pada wanita itu. (HR. Turmudzi 1158, Ibnu Hibban 5572, ad-Darimi dalam Sunannya 2261, dan yang lainnya. Sanad hadis ini dinilai shahih oleh Syuaib al-Arnauth).
Dalam riwayat lain di shahih Muslim, dari sahabat Jabir, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
”Jika ada lelaki yang terpikat dengan seorang wanita, hingga membuat dia jatuh cinta, hendaknya dia segera mendatangi istrinya dan melakukan hubungan dengannya. Dengan ini akan menghilangkan perasaan cinta dalam hatinya.” (HR. Muslim 1403).
An-Nawawi mengatakan,
Makna hadis, bahwa dianjurkan bagi lelaki yang melihat wanita, kemudian syahwatnya naik, agar dia segera mendatangi istrinya atau budaknya, jika dia punya budak, hingga dia melakukan hubungan badan dengannya. Agar bisa menahan syahwatnya dan jiwanya menjadi tenang, sehingga hatinya bisa kembali konsentrasi dengan tugasnya. (Syarh Shahih Muslim an-Nawawi, 9/178)
Kedua, mengenai waktu khusus yang berisi anjuran untuk melakukan hubungan badan, kami tidak menjumpai adanya dalil yang menjelaskan hal ini. Namun terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan bagaimana kebiasaan orang soleh masa silam dalam memilih waktu untuk melakukan hubungan badan.
Berikut diantaranya :
1.   Tiga Waktu Aurat
Yang dimaksud tiga waktu aurat adalah sebelum subuh, siang hari waktu dzuhur, dan setelah isya.
Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu : sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di waktu dzuhur dan sesudah shalat Isya’. (Itulah) tiga waktu aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. (QS. An-Nur: 58).
Diriwayatkan dari Muqatil bin Hayan, beliau menceritakan sebab turunnya ayat ini, Ada pasangan suami istri di kalangan anshar, yang dia sering membuatkan makanan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika budaknya masuk ke kamar menemui mereka tanpa izin di waktu yang mereka tidak sukai untuk ditemui. Sang istripun melaporkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Wahai Rasulullah, betapa buruknya sikap orang ini. Dia menemui seorang wanita ketika dia sedang berduaan bersama suaminya dalam satu selimut.” Kemudian Allah menurunkan ayat di atas. (Tafsir Ibn Katsir, 6/83).
Allah menurunkan syariat agar anak yang belum baligh, atau budak yang tinggal bersama tuannya, untuk tidak masuk ke kamar pribadi orang tuanya atau kamar tuannya pada tiga waktu khusus tanpa izin. Tiga waktu itu Allah sebut sebagai waktu aurat, karena umumnya, mereka sedang membuka aurat di tiga waktu itu.
Ibnu Katsir menyebutkan keterangan dari as-Sudi,
”Dulu para sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka terbiasa melakukan hubungan badan dengan istri mereka di tiga waktu tersebut. Kemudian mereka mandi dan berangkat shalat. Kemudian Allah perintahkan agar mereka mendidik para budak dan anak yang belum baligh, untuk tidak masuk ke kamar pribadi mereka di tiga waktu tersebut, tanpa izin. (Tafsir Ibn Katsir, 6/83).
2.   Setelah Tahajud
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kebiasaan tidur di awal malam, untuk bisa bangun di pertengahan atau sepertiga malam terakhir, melakukan shalat tahajud. Aisyah menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekati istrinya setelah tahajud. Dari al-Aswad bin Yazid, bahwa beliau pernah bertanya kepada A’isyah radhiyallahu ‘anha tentang kebiasaan shalat malamnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keterangan A’isyah radhiyallahu ‘anhu,
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di awal malam, kemudian bangun tahajud. Jika sudah memasuki waktu sahur, beliau shalat witir. Kemudian kembali ke tempat tidur. Jika beliau ada keinginan, beliau mendatangi istrinya. Apabila beliau mendengar adzan, beliau langsung bangun. Jika dalam kondisi junub, beliau mandi besar. Jika tidak junub, beliau hanya berwudhu kemudian keluar menuju shalat jamaah. (HR. an-Nasai 1680 dan dishahihkan al-Albani)
Berdasarkan keterangan A’isyah di atas, sebagian ulama lebih menganjurkan agar hubungan badan dilakukan di akhir malam, setelah tahajud, dengan pertimbangan,
·         Mendahulukan hak Allah, dengan beribadah kepadanya dalam kondisi masih kuat.
·         Menghindari tidur ketika junub, karena bisa langsung mandi untuk shalat subuh.
·         Di awal malam umumnya pikiran penuh, dan di akhir malam umumnya pikiran dalam keadaan kosong.
Ketika menjelaskan hadis ini, Mula Ali Qori mengutip keterangn Ibnu Hajar yang menjelaskan, “Mengakhirkan hubungan badan hingga akhir malam itu lebih baik. Karena di awal malam terkadang pikiran orang itu penuh. Dan melakukan jima di saat pikiran penuh, bisa jadi membahayakan dengan sepakat para ahli, karena bisa jadi dia tidak bisa mandi, sehingga dia tidur dalam kondisi junub, dan itu hukumnya makruh. (Mirqah al-Mashabih, 4/345).
Semua keterangan di atas hanya menyebutkan kebiasaan mereka. Dan semata tradisi yang terkait adat atau kebutuhan fisik seseorang, tidak bisa dijadikan acuan bahwa itu sunah atau dianjurkan. Karena itu, pertimbangan yang disebutkan oleh Ibnu Hajar hanya pertimbangan terkait dampak baik ketika hubungan badan diakhirkan hingga mendekati sahur. Dengan demikian, kesimpulan yang bisa kita berikan, bahwa dalam masalah ini tidak ada acuan baku, sehingga dikembalikan kepada kebutuhan dan kebiasaan masyarakat.



Sumber : Konsultasi Syariah

0 comments:

Posting Komentar