A. Nash-nash Tentang Jenggot
Ada banyak nash syar’i yang berderajat shahih tentang jenggot kita temukan, berupa sabda Rasulullah SAW Di antaranya dalil-dalil berikut ini :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
Dari Ibnu Umar radhiyalahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Berbedalah dengan orang-orang musyrik. Panjangkanlah jenggot dan potonglah kumis. (HR. Bukhari)
عن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ : جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah berdabda,”Pendekkan kumis dan panjangkan jenggot, berbedalah kalian dari orang-orang majusi”.(HR. Muslim)
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ فَعَدَّ مِنْهَا إِعْفَاءَ اللِّحْيَةِ
Dari Aisyah radhiyallahuanha dari Nabi SAW,”Ada sepuluh perkara yang termasuk fithrah, di antaranya memanjangkan jenggot. (HR. Muslim)
Sebenarnya masih banyak lagi nash-nash terkait dengan jenggot, namun saya cukupkan tiga hadits saja
B. Hukum Berjenggot
Meski dalil-dalil di atas semua termasuk hadits shahih, namun ketika menari kesimpulan hukum, para ulama ternyata berbeda pendapat, yaitu apakah memelihara jenggot hukumnya menjadi wajib, sunnah atau mubah. Sebagian mengatakan hukum wajib, seperti yang antum baca di media sosial itu.
Tetapi ternyata ada juga pendapat yang berbeda, sebagian bilang hukumnya sunnah, bahkan ada yang bilang hukumnya mubah.
1. Wajib Memelihara Jenggot
Sebagian kalangan mengambil kesimpulan bahwa memelihara jenggot hukumnya wajib, dan berdosa bisa mencukur atau menghilangkannya.Dasar pengambilan hukum wajibnya memanjangkan jenggot ini antara lain didasarkan pada hal-hal berikut :
a. Dzhahir Nash
Tidak bisa ditolak kenyataan begitu banyaknya hadits yang memerintahkan kita memelihara jenggot dan mencukur kumis, dimana hadits-hadis itu umumnya hadits yang shahih.
Dan karena hadits-hadits di atas datang dengan lafadz amr (perintah), dan secara baku setiap perintah berarti kewajiban, maka kesimpulannya, memanjangkan jenggot dan memotong kumis itu hukumnya menjadi wajib.
Pendapat seperti ini umumnya menggunakan metode yang biasa digunakan oleh mazhab Dzhahiri, dimana dzhahir nash memang memerintahkan untuk memanjangkan jenggot.
b. Para Ulama Mengharamkan Cukur Jenggot
Selain dhzahir nash, kewajiban memelihara jenggot itu juga didasari oleh begitu banyaknya pendapat para ulama tentang haramnya mencukur jenggot.
Tiga mazhab besar yaitu Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah tegas-tegas mengharamkan seseorang yang memiliki jenggot untuk mencukurnya hingga habis plontos. Karena tindakan itu jelas-jelas bertentangan dengan hadits-hadits nabawi.
Mazhab Al-Hanabilah menyebutkan bahwa dilarang mencukur jenggot. Dalam mazhab Al-Malikiyah, mencukur jenggot bukan saja haram, bahkan pelakunya harus dihukum agar mendapat pelajaran.
Sedangkan mazhab Asy-Syafi’iyah tidak sampai mengharamkan cukur jenggot. Mazhab ini hanya sampai memakruhkan saja.
2. Sunnah Memelihara Tapi Tidak Sampai Wajib
Sebagian kalangan yang lain menyebutkan bahwa memelihara jenggot itu hukumnya sunnah dan bukan wajib. Sehingga apabila seorang laki-laki muslim secara sengaja tidak memelihara jenggot, tidak berdosa, namun dia telah menyalahi sunnah Rasulullah SAW
Dasar pendapat ini untuk tidak mewajibkan laki-laki harus berjenggot antara lain adalah
a. Tidak Semua Perintah Berarti Wajib
Pendapat kedua menolak bahwa memelihara dan memanjangkan jenggot itu dianggap sebagai kewajiban. Meski nash-nash yang kita temui secara dzhahirnya memang memerintahkan, namun tidak semua fi’il amr selalu mengandung makna kewajiban.
Bukankah kita menemukan cukup banyak dasar masyru’iyah ibadah seperti shalat sunnah atau puasa sunnah yang menggunakan sighat amr, padahal para ulama sepakat tidak mewajibkannya.
b. Fithrah Tidak Wajib
Memelihara jenggot menurut salah satu hadits shahih disebutkan sebagai salah satu dari sepuluh fithrah.
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ فَعَدَّ مِنْهَا إِعْفَاءَ اللِّحْيَةِ
Dari Aisyah radhiyallahuanha dari Nabi SAW,”Ada sepuluh perkara yang termasuk fithrah, di antaranya memanjangkan jenggot. (HR. Muslim)
Dan umumnya apa-apa yang termasuk fithrah itu hukumnya bukan kewajiban, melainkan sunnah. Kalau kita bandingkan memelihara jenggot ini dengan sunnah fithrah yang lain misalnya memotong kuku, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, bersiwak dan lain-lain, maka kedudukannya sama, yaitu sama-sama sunnah dan bukan kewajiban.
c. Tidak Semua Orang Bisa Punya Jenggot
Tidak semua orang ditakdirkan tumbuh jenggot di dagunya. Maka dalam hal ini hukumnya harus dilihat dari masing-masing kasus.
Kalau ada orang yang punya jenggot, lalu dia ingin menjalankan apa yang menjadi perintah Nabi SAW sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits di atas, maka tentu berpahala. Namun sebaliknya, bila seseorang ditakdirkan tidak tumbuh jenggot di dagunya, tentu dia tidak bisa dibilang berdosa. Sehingga kesimpulannya, berjenggot itu tidak wajib tetapi disunnahkan.
Sedangkan mereka yang berbakat punya jenggot lalu mencukur habis tanpa ada alasan yang syar’i, maka hukumnya kurang disenangi alias makruh.
3. Boleh Memelihara dan Boleh Tidak Memelihara
Sebagian dari kalangan punya pendapat yang berbeda, yaitu memelihara jenggot hukumnya bukan wajib atau sunnah, namun hukumnya hanya mubah. Kalau mau tampil berjenggot, tidak ada larangan, tetapi kalau mau tampil tanpa jenggot, atau mencukur jenggot, hukumnya tidak terlarang.
Ada beberapa dalil yang mereka kemukakan ketika berpendapat bahwa jenggot bukan urusan syariat, yaitu :
a. ’Illatnya Adalah Berpenampilan Berbeda
Ada pun dalil-dalil dari hadits di atas, tidak mereka tolak keberadaannya, hanya saja yang menjadi masalah adalah ’illat atau penyebab datangnya perintah untuk memelihara jenggot, yang dalam hal ini sekedar bisa berbeda penampilan dengan orang-orang musyrikin atau orang-orang majusi.
Menurut pandangan ini, kebetulan secara ’urf atau kebiasaan, orang-orang musyrikin dan majusi di masa Rasulullah SAW punya penampilan yang menjadi ciri khas, yaitu mereka terbiasa memanjangkan kumis dan memotong atau mencukur habis jenggot.
Maka agar penampilan umat Islam berbeda dengan penampilan mereka, yang paling mudah adalah mengubah penampilan yang sekiranya berbeda secara signifikan. Dan cara itu tidak lain adalah dengan cara memelihara jenggot dan memotong kumis.
Namun ketika ’urf atau tradisi orang-orang musyrik dan majusi berubah, seiring dengan berjalannya waktu dan penyebaran budaya mereka, maka mereka pun punya penampilan dan ciri fisik yang berbeda juga. Ketika banyak dari orang-orang musyrik dan majusi yang tidak lagi memanjangkan kumis dan memotong jenggot, sebagaimana yang mereka lakukan di masa hidup Rasulullah SAW, maka dalam logika mereka, hukumnya pun juga ikut berubah juga.
Dalam pandangan mereka, yang menjadi ’illat dari dalil-dalil di atas bukan masalah memelihara jenggotnya, melainkan perintah untuk berbeda penampilan dengan orang-orang musyirikin dan majusi.
b. Masalah Ketidak-adilan
Selain menggunakan logika perbedaan ’illat, mereka tidak mewajibkan atau menyunnahkan memelihara jenggot karena masalah ketidak-adilan.
Kalau memelihara jenggot dianggap sebagai ibadah, entah hukumnya wajib atau sunnah, maka betapa agama Islam ini sangat tidak adil. Sebab hanya mereka yang ditakdirkan punya bakat berjenggot saja yang bisa mengamalkannya.
Hal itu mengingat keberadaan jenggot amat berbeda dengan rambut pada kepala manusia, dimana setiap bayi yang lahir, sudah dipastikan di kepalanya tumbuh rambut. Demikian juga dengan kuku, setiap manusia tentu punya kuku yang terus tumbuh sejak lahir hingga mati.
Namun tidak demikian halnya dengan jenggot. Ada berjuta-juta manusia di dunia ini yang secara sunnatullah memang tidak tumbuh jenggotnya. Dan hal itu terjadi sejak dari lahir sampai tua dan mati. Allah SWT mentaqdirkan memang tidak ada satu pun jenggot tumbuh di dagu mereka.
Maka kalau berjenggot panjang itu diwajibkan atau sunnahkan, apakah mereka yang ditakdirkan punya wajah tidak tumbuh jenggot lantas menjadi berdosa atau tidak bisa mendapatkan pahala? Dan apakah ukuran ketaqwaan seseorang bisa diukur dengan keberadaan jenggot?
Kalau memang demikian ketentuanya, maka betapa tidak adilnya syariat Islam, karena hanya memberi kesempatan bertaqarrub kepada orang-orang tertentu saja dengan menutup kesempatan buat sebagian orang.
Memang buat bangsa-bangsa tertentu, seperti bangsa Arab, semua laki-laki mereka lahir dengan potensi berjenggot, bahkan sejak dari masih belia, sudah ada tanda-tanda akan berjenggot. Namun buat ras manusia jenis tertentu, seperti umumnya masyarakat Indonesia, tidak semua orang punya bakat berjenggot, bahkan meski sudah diberi berbagai obat penumbuh dan penyubur jenggot, tetap saja sang jenggot idaman tidak tumbuh-tumbuh juga.
Betapa malangnya orang-orang Indonesia, yang lahir tanpa potensi untuk memiliki jenggot. Lantas apakah dosa mereka sehingga ’dihukum’ Allah sehingga tidak bisa berjenggot?
0 comments:
Posting Komentar