Tepatnya pada suatu malam sekitar jam 22.00
WIB di seputaran sesaknya kota Jakarta, saya mengendarai sepeda motor milik
bapak guru (bapak angkat red). Seperti biasa saya pulang beraktivitas dengan
muka yang penuh senyum karena membawa lebih banyak hasil penjualan hari itu. Di
tengah perjalanan yang dilalui begitu banyak kendaraan yang berlalu lalang
hingga seakan-akan penuh dan tidak muat untuk menampung beban kendaraan,
seperti biasa kemacetan pun tak bisa dihindari.
Begitu sampai di rumah saya di suruh
menjemput kawan seperjuangan di kelurahan sebelah yang berjarak sekitar 0,5 km,
meskipun dalam keadaan masih lelah dan letih setelah berjuang melewati
kemacetan Jakarta. Saya berangkat menggunakan motor Mio menuju kesana, biasanya
kalau jemputan terlambat, kawan saya pulang duluan dengan berjalan kaki. Belum
separuh perjalanan saya menjumpai segerombolan anak-anak (preman red) yang
asyik nongkrong di pinggir jalan, saya terus memacu kendaraan dengan pelan.
Alangkah terkejutnya sesampai di gerombolan anak-anak tersebut, saya menemui
kawan saya yang di keroyok. Saya pun berhenti persis didekat mereka, dan mereka
pun memalak saya “Mana duit?!!... Gue minta duit...” Belum sadar kalau itu
adalah pemalakan, sebuah tinju mendarat di atas mata saya, spontan saya merasa
kesakitan dan memegangi mata yang benjol. Kawan saya masih terus di keroyok
dengan pukulan-pukulan ringan, “Gak punya uang... Gak punya uang... Jangan
maksa gi tu donk”.. Begitu kata teman saya.
Belum puas menyakiti saya mereka pun ingin
merampas motor yang saya kendarai, tapi Alhamdulillah tidak sampai diambil
karena keburu si ketua preman berhenti memukuli kawan saya yang dari tadi
dipukuli. Ketika sedang asyik-asyiknya mereka memukuli kawan saya, kawan saya
sempat terlontar kata “Engko’ ta’ endhi’ pesse je” Begitu
kata kawan saya, yang artinya “Saya ga punya uang”.
Spontan mendengar kata-kata itu si bos preman
kaget dan bertanya ke kawan saya “Ben Oreng madureh le’?”. Yang artinya
”Kamu orang madura ya?”.
Di jalan saya banyak bersyukur pada Alloh
karena tidak apa-apa, meski muka sedikit benjol. Dongkol, jengkel bercampur
aduk di loyang dada, ingin rasanya saya balas dendam, menampar muka mereka satu
persatu.
Begitu sampai rumah saya laporin ke Bapak
guru saya, kemudian ke RT di lingkungan saya. Kita menuju ke lokasi yang jadi
tempat nongkrong anak-anak tadi, tapi bagai di telan bumi, mereka lenyap entah
kemana.
Kisah ini bisa diambil pelajaran, gara-gara
dari suku yang sama yaitu madura, si preman tadi jadi gagal untuk melakukan
aksi kejinya. Entah mereka karena takut sama Carok madura, atau merasa kasihan.
Mungkin bisa dicoba ketika dijalan mengalami hal seperti ini, pakai
bahasa-bahasa daerah madura, sunda, jawa, manado, dan ambon. Pesan dari saya
hindari jalanan yang sepi dan gerombolan anak-anak (preman red), ketika
melintas di jalanan ibu kota.
0 comments:
Posting Komentar