:::: MENU ::::

Informasi Bisnis dan Umum

Tepatnya pada suatu malam sekitar jam 22.00 WIB di seputaran sesaknya kota Jakarta, saya mengendarai sepeda motor milik bapak guru (bapak angkat red). Seperti biasa saya pulang beraktivitas dengan muka yang penuh senyum karena membawa lebih banyak hasil penjualan hari itu. Di tengah perjalanan yang dilalui begitu banyak kendaraan yang berlalu lalang hingga seakan-akan penuh dan tidak muat untuk menampung beban kendaraan, seperti biasa kemacetan pun tak bisa dihindari.
Begitu sampai di rumah saya di suruh menjemput kawan seperjuangan di kelurahan sebelah yang berjarak sekitar 0,5 km, meskipun dalam keadaan masih lelah dan letih setelah berjuang melewati kemacetan Jakarta. Saya berangkat menggunakan motor Mio menuju kesana, biasanya kalau jemputan terlambat, kawan saya pulang duluan dengan berjalan kaki. Belum separuh perjalanan saya menjumpai segerombolan anak-anak (preman red) yang asyik nongkrong di pinggir jalan, saya terus memacu kendaraan dengan pelan. Alangkah terkejutnya sesampai di gerombolan anak-anak tersebut, saya menemui kawan saya yang di keroyok. Saya pun berhenti persis didekat mereka, dan mereka pun memalak saya “Mana duit?!!... Gue minta duit...” Belum sadar kalau itu adalah pemalakan, sebuah tinju mendarat di atas mata saya, spontan saya merasa kesakitan dan memegangi mata yang benjol. Kawan saya masih terus di keroyok dengan pukulan-pukulan ringan, “Gak punya uang... Gak punya uang... Jangan maksa gi tu donk”.. Begitu kata teman saya.
Belum puas menyakiti saya mereka pun ingin merampas motor yang saya kendarai, tapi Alhamdulillah tidak sampai diambil karena keburu si ketua preman berhenti memukuli kawan saya yang dari tadi dipukuli. Ketika sedang asyik-asyiknya mereka memukuli kawan saya, kawan saya sempat terlontar kata “Engko’ ta’ endhi’ pesse je” Begitu kata kawan saya, yang artinya “Saya ga punya uang”.
Spontan mendengar kata-kata itu si bos preman kaget dan bertanya ke kawan saya “Ben Oreng madureh le’?”. Yang artinya ”Kamu orang madura ya?”.
Di jalan saya banyak bersyukur pada Alloh karena tidak apa-apa, meski muka sedikit benjol. Dongkol, jengkel bercampur aduk di loyang dada, ingin rasanya saya balas dendam, menampar muka mereka satu persatu.
Begitu sampai rumah saya laporin ke Bapak guru saya, kemudian ke RT di lingkungan saya. Kita menuju ke lokasi yang jadi tempat nongkrong anak-anak tadi, tapi bagai di telan bumi, mereka lenyap entah kemana.

Kisah ini bisa diambil pelajaran, gara-gara dari suku yang sama yaitu madura, si preman tadi jadi gagal untuk melakukan aksi kejinya. Entah mereka karena takut sama Carok madura, atau merasa kasihan. Mungkin bisa dicoba ketika dijalan mengalami hal seperti ini, pakai bahasa-bahasa daerah madura, sunda, jawa, manado, dan ambon. Pesan dari saya hindari jalanan yang sepi dan gerombolan anak-anak (preman red), ketika melintas di jalanan ibu kota.

0 comments:

Posting Komentar