:::: MENU ::::

Informasi Bisnis dan Umum

Bagi umat Islam mengkonsumsi makanan yang halal dan thoyib merupakan bagian dari perintah agama. Demikian juga meninggalkan makanan yang haram adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kesadaran masyarakat muslim terhadap perkara yang wajib ini tak perlu dipertanyakan lagi, karena sudah menjadi suatu pedoman hidup. Sebagai konsumen produk pangan, sudah seharusnya umat Islam mendapatkan jaminan dari para produsen atas kehalalan produk-produk pangan yang beredar di komunitas muslim. Faktanya, Konsumen sulit untuk mengetahui apakah suatu produk mengandung bahan haram ataukah tidak, kecuali bila produk tersebut mendapatkan sertifikat halal dari lembaga berwenang di dalam atau di luar negeri. Meski begitu, tidaklah berarti produk tak bersertifikat halal semuanya mengandung bahan haram. Selain produk pangan, ada produk lainnya yang status kehalalannya belum menjadi perhatian masyarakat yaitu produk obat-obatan, khususnya obat yang digunakan dengan cara ditelan atau diminum. Hingga saat ini penulis belum pernah melihat obat resep dokter yang berlabel halal. Bagaimanapun juga obat yang ditelan pada hakekatnya adalah makanan. Sebagaimana yang juga dikatakan oleh para perintis ilmu kedokteran seperti Hipokrates ataupun Ibnu Sina (Avisena) bahwa obat adalah makanan dan makanan pun adalah obat. Jelas sekali obat dan makanan adalah dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Oleh karena itu maka status kehalalan obat-obatan terutama yang ditelan adalah wajib adanya bagi kaum muslim. Sekarang ini untuk produk minuman dan makanan olahan, sertifikasi kehalalannya sudah diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1996. Sertifikat halal ini diberikan setelah suatu produk pangan diperiksa oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI), melalui proses audit yang ketat dalam hal asal-usul bahannya, komponen campurannya maupun proses produksinya. Namun, sayang sekali pada prakteknya sertifikasi halal produk pangan ini tidak diwajibkan kepada tiap produsen, tetapi hanya bersifat sukarela bergantung kepada kemauan produsen apakah mau ataukah tidak untuk mendapatkan sertifikat halal. Dan yang lebih disayangkan lagi adalah karena sertifikasi halal ini belum menyentuh kepada produk obat-obatan resep dokter. Sepertinya masyarakat kita sampai saat ini masih sangat-sangat permisif terhadap status halalnya obat-obatan, meskipun di dalamnya mungkin terdapat bahan-bahan yang berasal dari barang yang haram, misalnya babi. Sikap permisif ini barangkali karena adanya pemahaman tentang Hukum Darurat yang kurang terkontrol. Padahal dalam ajaran Islam, darurat itu ada batasannya. Memang benar bahwa barang yang haram itu bisa menjadi halal bila dalam keadaan yang sangat darurat, sebagaimana halnya bangkai hewan, darah ataupun daging babi yang bisa halal dimakan bila dalam keadaan darurat (Alquran Surat Al-Baqarah : 173). Namun dalam kasus obat-obatan sepertinya hukum darurat ini kesannya terlalu diperlebar dan berlebihan, sehingga bahan obat apapun akan dianggap halal tanpa kecuali, karena berlindung di balik tameng darurat. Kalau kita menyimak prinsip hukum darurat yang digambarkan dalam Al-Qur’an maupun Hadist, sebenarnya hukum darurat itu diterapkan hanya bila dalam keadaan yang sangat terpaksa saja. Sebagaimana juga dalam masalah dihalalkannya bangkai hewan, yaitu bilamana minimal dalam sehari semalam (misalnya di tengah gurun pasir) tidak menemukan makanan apapun, kecuali hanya bangkai binatang itu saja satu-satunya. Namun mengkonsumsinya pun tidak boleh berlebihan, tapi sekedar untuk bisa bertahan hidup. Adapun dalam hal obat-obatan resep dokter, dengan semakin majunya bidang farmasi, maka banyak sekali variasi dan jenis obat-obatan yang umumnya berasal dari bahan yang tidak haram. Dengan demikian masyarakat ataupun para dokter mempunyai banyak pilihan atau alternatif dalam menentukan jenis obat yang tepat dan rasional untuk diresepkan bagi pasiennya. 

Bahan haram dalam obat :
1.     Unsur Babi (Porcine) 
Menurut ahli farmasi bahwa bahan-bahan aktif obat pada merk obat tertentu, bila diteliti lebih jauh ada yang menggunakan bahan baku yang diharamkan di dalam ajaran Islam, misalnya babi. Sebagai contoh, ada obat suntik merk tertentu untuk mengobati penyakit kencing manis (diabetes melitus) yang berasal dari hormon insulin babi (porcine). Sementara itu banyak pula obat suntik lainnya yang khasiat dan fungsinya sama untuk kecing manis, tetapi tidak berasal dari porcine atau babi. Lantas apakah masih bisa diyakini bahwa obat yang berasal dari babi itu masih halal digunakan dengan alasan darurat, padahal ada obat lainnya yang halal ? Bila hukum darurat ini dipahami dengan sebenarnya, maka pasti tidak akan ada muslim yang berani menghalalkan obat yang berasal dari babi ini, karena dasar untuk hukum daruratnya saat ini tidak terpenuhi. Hal ini mengingat masih banyak pilihan merk obat lainnya yang tidak mengandung unsur babi. Oleh karena itu pemahaman yang berasumsi bahwa benda apapun akan halal dikonsumsi bila untuk obat, haruslah segera ditinggalkan jauh-jauh karena tidak sesuai dengan Syariah. Selama ini umumnya masyarakat tidak mengetahui dari apa saja dibuatnya bahan aktif suatu obat. Demikian juga pada brosur obat-obatan yang ada, produsen obat biasanya tidak menjelaskan asal-usul bahan aktif dan bahan penyerta pada produk obatnya secara lengkap. Para dokter pun mungkin belum tentu semuanya mengetahui asal-usul dibuatnya bahan dasar semua obat-obatan. Hal ini karena di dalam kurikulum pendidikan dokter, masalah asal-usul bahan dasar pada setiap jenis obat ini tidak dibahas secara lengkap. Dalam materi kuliah tentang obat bagi mahasiswa kedokteran memang lebih ditekankan kepada mempelajari masalah mekanisme kerja obat di dalam tubuh, termasuk dalam hal khasiat obat, reaksi kimia, dosis, efek samping dll. Sedangkan masalah teknologi bahan obat maupun teknis pembuatan obat tidak dipelajari lebih jauh, karena masalah ini adalah bidangnya kalangan farmasi. Oleh karena itu para ahli farmasi muslim perlu sekali menjelaskan, bahan aktif obat apa saja yang berasal dari bahan-hahan yang haram, agar umat Islam mudah untuk menghindarinya. Hal ini mengingat bahwa obat-obatan itu umumnya adalah produk impor dari luar negeri, yang diciptakan atau diformulasikan oleh ilmuwan yang belum tentu mengenal masalah halal dan haram.
2.     Alkohol (Etanol)
Bahan obat lainnya yang mungkin masih dianggap darurat adalah alkohol (etanol) yang biasa dipakai sebagai pelarut pada obat-obatan sirup jenis tertentu.  Masalah alkohol ini memang ada perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslimin tentang status halal dan haramnya di dalam obat, terutama dalam penggunaan untuk campuran obat-obat sirup.  Namun, perlu juga kita ketahui, hasil rapat Komisi Fatwa MUI tahun 2001 menyimpulkan bahwa minuman keras adalah minuman yang mengandung alkohol minimal 1 %  (satu persen). Menurut analisis para pakar, memang minuman beralkohol (etanol) di atas 1% akan berpotensi memabukkan.  Hal ini merujuk pada keterangan hadis Rasulullah SAW riwayat Muslim dan Ahmad.  Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa Rasulullah SAW melarang meminum air jus buah-buahan yang sudah didiamkan lebih dari 2 (dua) hari karena bisa memabukkan (khamar). Menurut pakar teknologi pangan, memang air jus buah yang didiamkan lebih dari 2 hari di dalam suhu kamar akan menghasilkan alkohol (etanol) dengan kadar sekitar 1 %. Dengan adanya patokan 1 % ini, maka akan mudahlah bagi kita untuk memilih dan menentukan apakah suatu produk obat sirup itu dikatagorikan sebagai minuman keras atau bukan.  Pembatasan kadar alkohol ini sangat perlu dan dimaksudkan untuk mencegah, karena prinsip Islam itu adalah mencegah ke arah yang haram. Pada acara muzakarah tentang alkohol dalam minuman yang diselenggrakan MUI pada tahun 1993, dr Kartono Muhammad MPH, selaku ketua umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) saat itu, mengatakan bahwa fungsi alkohol dalam obat yang diminum sudah dapat digantikan dengan bahan lain sehingga disarankan untuk mencari alternatif pengganti alkohol dengan jenis pelarut lainnya yang lebih aman secara Syariah. Kenyataan yang ada di masyarakat sekarang ini tidak sedikit obat-obatan sirup tertentu yang mengandung kadar alkohol yang lebih dari batas 1 %, baik obat resep dokter maupun obat yang dijual bebas.  Akan tetapi ternyata merk obat sirup yang tanpa alkohol ataupun yang alkoholnya kurang dari 1%, jumlahnya jauh lebih banyak dari pada obat sirup yang berkadar alkohol lebih dari 1%.  Oleh karena itu tidak ada lagi alasan darurat untuk menghalalkan obat sirup yang kadar alkoholnya lebih dari 1 %, karena masih banyak pilihan obat lainnya baik yang berbentuk sirup maupun pil atau serbuk puyer yang memang tanpa alkohol. Bila alkohol atau etanol ini berada pada campuran obat-obatan antiseptik untuk pemakaian pada tubuh bagian luar atau permukaan kulit, dan bukan untuk diminum, tentunya masih bisa dimaklumi.  Meskipun larutan antiseptik kulit umumnya berkadar alkohol 70 %, hal ini tidak perlu untuk dipermasalahkan, karena obat luar ini tidak untuk diminum.  Bila melihat dalilnya di dalam Alquran maupun hadis bahwa khamar (minuman keras) itu hanyalah haram untuk diminum.  Tetapi, bila minuman keras ini hanya disentuh atau dioleskan ke permukaan kulit maka tidak akan menjadikannya haram.  Mungkin untuk masalah ini masih terdapat perbedaan pendapat di antara kaum muslimin. Oleh karena itu walaupun larutan antiseptik ini kadar alkoholnya hingga 70 %  dan sangat berpotensi memabukkan atau bahkan bisa mematikan bila diminum, tapi tidaklah terlarang untuk dioleskan ke kulit yang luka. Jatuhnya hukum haram itu apabila larutan memabukkan ini diminum, dan bukannya dioleskan ke kulit.  Dengan demikian, penggunaan alkohol yang berkadar lebih dari 1 % untuk penggunaan antiseptik di permukaan kulit yang terinfeksi atau luka, masih bisa diterima oleh dalil Syariah. Lantas bagaimanakah hukumnya meminum minuman keras (khamar) untuk tujuan pengobatan menurut pandangan para fuqoha?  Di dalam kitab Fikih Sunnah Sayyid Sabiq dikatakan bahwa dahulu pada zaman jahiliyah, ada orang-orang yang biasa meminum arak dengan dalih untuk pengobatan.  Namun setelah datang ajaran Islam yang dibawa Rasulullah Saw, mereka dilarang menggunakannya dan sekaligus diharamkan meminumnya meskipun untuk tujuan pengobatan. Imam Ahmad,  Muslim, Abu Daud dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Thariq bin Suaid Al Ju'fie, bahwasanya Suaid menanyakan kepada Rasulullah SAW mengenai khamar, lalu Rasulullah SAW melarangnya.  Kemudian ia menjelaskan kepada Rasulullah bahwa minuman keras ini dibuatnya untuk pengobatan, lalu beliau bersabda : ''Sesungguhnya khamar itu bukan obat, tapi justru penyakit.'' Dalam hal obat yang berpotensi memabukkan, barangkali hanya obat bius (anestesi) saja yang bisa dikatagorikan darurat.  Bagaimanapun juga, sesungguhnya orang yang dibius di kamar operasi bedah itu, pada dasarnya adalah orang yang sengaja dibuat mabuk hingga tak sadarkan diri, hanya saja mabuknya terkendali. Namun status darurat bagi obat bius pun ada batasannya.  Tentu saja batasannya adalah: siapa yang memakainya dan untuk apa tujuannya.  Dengan demikian status darurat obat bius ini hanyalah berlaku bila digunakan oleh ahlinya untuk tujuan pengobatan yang rasional, dan bukan untuk drug abuse atau penyalahgunaan obat, seperti untuk teler atau mabuk-mabukan. Oleh karena itu  hukum darurat obat bius ini akan berlaku bila pemakaiannya bukan untuk perilaku yang bertentangan dengan aturan Allah SWT.
3.     Plasenta dan air kemih
Akhir-akhir ini organ tubuh yang disebut plasenta sedang tren digunakan dalam produk kosmetika maupun obat tertentu.  Plasenta atau disebut juga ari-ari, adalah jaringan yang tumbuh di dalam rahim wanita ketika hamil, yang merupakan penghubung antara janin yang dikandung dengan ibu hamil yang mengandungnya.  Plasenta ini berfungsi untuk menyalurkan zat-zat makanan, air,  oksigen, dan zat-zat lainnya dari darah ibu hamil ke darah janin.  Sebaliknya plasenta juga berfungsi untuk membuang karbondioksida, sisa metabolisme atau sampah, serta zat-zat lainnya dari janin ke tubuh ibu hamil. Plasenta atau ari-ari ini memang selalu ditemukan pada semua makhluk hidup jenis mamalia yang sedang hamil, dan akan lepas dibuang dari rahim ketika melahirkan setelah keluarnya bayi.  Adapun plasenta yang sering digunakan untuk kosmetika atau produk kesehatan tersebut, bisa berasal dari plasenta hewan atau dari plasenta manusia. Sebagaimana diketahui bahwa sekarang ini pada layar televisi sering dijumpai iklan produk kecantikan atau produk untuk kesehatan yang tanpa kita sadari menggunakan plasenta sebagai salah satu bahan aktifnya. Plasenta dalam bentuk krim yang dioleskan ke permukaan kulit maupun dalam bentuk pil yang ditelan, diyakini dapat berfungsi untuk regenerasi sel-sel kulit sehingga dapat mempertahankan kulit agar tetap sehat, segar, muda dan cantik.  Tidak hanya itu, plasenta juga diyakini mampu mengembalikan kemulusan kulit akibat luka atau penyakit kulit.  Tetapi dari manakah plasenta ini berasal? Menurut ahli farmasi, yang paling banyak digunakan oleh industri obat-obatan di luar negeri, justru adalah plasenta manusia yang diperoleh dari berbagai rumah sakit bersalin di sana. Kalaupun plasentanya berasal dari hewan, tentunya konsumen pun tidak akan tahu hewan apa yang diambil plasentanya, apakah babi, sapi ataukah apa?  Dalam ingredien atau daftar komposisi pada kemasan produk obat berplasenta ini memang biasanya tidak disebutkan asal-usul plasentanya. Meskipun kebanyakan penggunaan plasenta manusia ini bukan untuk produk pangan, akan tetapi penggunaan organ tubuh atau setidaknya penggunaan bagian dari kehidupan manusia ini telah  menimbulkan pro dan kontra. Selain dari segi peradaban, sebetulnya yang lebih penting bagi umat Islam adalah halal atau tidaknya penggunaan plasenta maupun jaringan tubuh manusia lainnya bila dikonsumsi untuk tujuan pengobatan. Demikian pula pengobatan tradisional dengan cara meminum air kencing (urine) yang keluar dari alat kelamin orang yang meminumnya, telah menjadi kontroversi di kalangan umat Islam, mengingat air kencing menurut ajaran Islam termasuk benda yang najis.  Di kalangan medis pun terapi air seni atau urine ini masih mengundang pro dan kontra.
Namun, apa pun khasiat yang bisa ditemukan di dalam air kencing ini, bagi umat Islam tak ada alasan darurat untuk meminumnya selama masih ada obat lainnya yang bisa digunakan. Apalagi kalau meminum air seni dari tubuhnya sendiri ini hanya sekedar untuk mencoba-coba saja, maka harus dihindarkan oleh kaum muslim. Sebenarnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah lama menyoroti masalah pengobatan tradisional dengan air seni maupun tentang penggunaan plasenta manusia pada obat dan kosmetika. Untuk memberikan kejelasan kepada masyarakat luas dan menghindari kesalah pahaman, secara khusus MUI dalam Munas tahun 2000 yang lalu telah membahas masalah plasenta manusia dan terapi urine ini. Dalam Keputusan Fatwa MUI nomor: 2/Munas /VI/ MUI/ 2000 ditetapkan bahwa :
1)    Yang dimaksud dengan : 
a)    Penggunaan obat-obatan adalah mengkonsumsinya sebagai pengobatan, dan bukan menggunakan obat pada bagian luar tubuh.
b)    Penggunaan air seni adalah meminumnya sebagai obat.
c)    Penggunaan kosmetika adalah memakai alat kosmetika pada bagian luar tubuh dengan tujuan perawatan tubuh dan kulit, agar tetap atau menjadi baik dan indah. 
d)    Al-Istihalah adalah perubahan suatu benda menjadi benda lain yang berbeda dalam semua sifat-sifatnya dan menimbulkan akibat hukum dari benda najis atau mutanajis menjadi benda suci dan dari benda yang diharamkan menjadi benda yang dibolehkan (mubah). 
2)    Penggunaan obat-obatan yang mengandung atau berasal dari bagian organ tubuh manusia, hukumnya adalah haram. Kecuali dalam keadaan darurat dan diduga kuat dapat menyembuhkan menurut keterangan dokter ahli terpercaya.
3)    Penggunaan air seni manusia hukumnya adalah haram. Kecuali dalam keadaan darurat dan diduga kuat dapat menyembuhkan menurut keterangan dokter ahli terpercaya.
4)    Penggunaan kosmetika yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia hukumnya adalah haram. Kecuali setelah masuk ke dalam proses Istihalah. 
5)    Menghimbau kepada semua pihak agar sedapat mungkin tidak memproduksi dan menggunakan obat-obatan atau kosmetika yang mengandung unsur bagian organ manusia atau berobat dengan air seni manusia.

Dengan adanya fatwa MUI tersebut, maka jelaslah bahwa pemakaian air kencing manusia dan plasenta manusia ini bila tidak dalam status darurat, maka hukumnya adalah haram bagi umat Islam. Apalagi bila masih ada obat-obat lain yang masih bisa digunakan, maka penggunaan air kencing maupun plasenta manusia sebagai obat, tidak ada dasar kedaruratannya. Kalaupun memang darurat, maka ukuran kedaruratannya ini tidak bisa hanya berdasarkan perasaan seseorang belaka, tetapi harus berdasarkan pertimbangan obyektif dari beberapa orang ahli kesehatan yang berkompeten, sekurang-kurangnya dari 3 (tiga) orang ahli.

Jadi, kondisi darurat ini tidak bisa hanya berdasarkan kepada pertimbangan satu orang ahli saja. Adapun ukuran darurat ini menurut pakar hukum Syariah adalah ancaman nyawa atau kematian. Artinya bila menurut pertimbangan dari minimal 3 orang dokter ahli, misalnya dinyatakan bahwa seorang pasien akan berisiko meninggal dunia bila tidak segera meminum air kencingnya atau obat berplasenta, sementara tidak ada satu pun obat lainnya yang bisa digunakan, maka status air kemih atau plasenta ini akan menjadi halal bagi orang tersebut pada saat itu.

Namun bila ternyata masih ada obat lainnya yang bisa digunakan, maka sifat kedaruratan air seni atau obat berplasenta ini menjadi batal atau tidak syah secara hukum Syariah alias haram. Bagi kaum muslim, sudah seharusnya saat ini untuk berhati-hati dalam membeli produk-produk yang kemungkinan mengandung plasenta manusia, minimal dengan membaca komposisi bahan-bahan yang tertulis di dalam kemasannya. Tentunya hal ini akan menambah kewaspadaan agar tidak terjebak oleh produk yang haram untuk dikonsumsi.

Menurut seorang pakar farmasi yang juga staf ahli di LPPOM-MUI, sekarang ini di pasaran ada beberapa obat pil atau kapsul merk tertentu yang bahan aktifnya terbuat dari plasenta manusia. Di antaranya adalah obat perangsang atau pelancar air susu ibu (ASI). Penggunaan obat ini yaitu untuk menstimulasi aktifitas kelenjar air susu ibu, agar setelah melahirkan produksi ASI-nya meningkat. Namun perlu juga diketahui bahwa masih ada obat jenis lain yang khasiatnya serupa tapi tidak mengandung plasenta manusia.

Sesungguhnya obat-obatan yang dijual bebas maupun obat resep dokter itu banyak sekali jenis dan variasinya. Dengan demikian maka banyak sekali alternatif yang bisa dipilih oleh masyarakat atau oleh dokter dalam menuliskan resepnya. Oleh karena itu sekarang ini tidak ada alasan darurat bagi umat Islam untuk meminum air kencingnya sendiri maupun menggunakan bahan yang mengandung plasenta manusia dengan dalih untuk pengobatan.

Obat Berlabel Halal
Dengan semakin banyaknya variasi dan jenis obat, maka obat-obatan yang berasal dari bahan yang haram atau memabukkan (kecuali obat bius), sudah seharusnya ditinggalkan oleh umat Islam. Selama masih ada alternatif obat lainnya yang halal, maka tidak ada alasan darurat bagi pemakaian obat-obatan yang mengandung bahan haram. Berhubung banyaknya obat-obatan yang diragukan dan tidak dijamin kehalalannya, maka sekarang sudah saatnya Departemen Agama, Departemen Kesehatan RI dan MUI membahas masalah status halal bagi obat-obatan. Apalagi sekarang ini populasi berbagai jenis obat cukup banyak seiring dengan semakin majunya bidang farmasi dan hampir setiap tahun selalu hadir berbagai merk obat-obatan yang baru. 
Terlebih lagi karena obat-obatan itu umumnya adalah produk dari luar negeri yang belum dijaminan kehalalannya, maka perlu sekali adanya perlindungan bagi kalangan konsumen umat Islam agar tidak terjebak mengkonsumsi produk yang haram. Kalaulah produk makanan dan minuman bisa diberikan label halal, mengapa produk obat-obatan yang diminum atau ditelan tidak diberi sertifikat halal? Padahal pada hakekatnya obat itu adalah makanan dan makanan pun adalah obat. Obat dan makanan adalah dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan.
Oleh karena itu kepastian dan jaminan halalnya produk pangan khususnya obat-obatan di Indonesia yang mayoritas muslim ini, sudah selayaknya diprioritaskan oleh produsen dan diatur oleh pemerintah. Penulis sebagai muslim sekaligus sebagai tenaga medis, secara pribadi sangat mengharapkan sekali dan menantikan hadirnya obat-obatan yang bersertifikat halal atau ada jaminan kehalalannya. Bila hal ini terealisasi maka tidak akan ada lagi keraguan ketika menuliskan resep obat apapun. Semoga saja sertifikasi halal bagi obat-obatan, khususnya jenis obat yang diminum atau ditelan, baik obat resep dokter maupun obat bebas, akan menjadi kenyataan di kelak kemudian hari. Rasulullah Saw bersabda : "Setiap daging (jaringan tubuh) yang tumbuh dari makanan haram, maka api nerakalah baginya." (HR At-Tirmidzi) 
Sumber : Republika
Tahun baru masehi pada zaman kita ini dirayakan dengan besar-besaran. Bahkan difasilitasi oleh Pemerintah yang dibalut dengan pesta rakyat (Night Festival). Beragam aliran musik mulai dari pop, rock, dan dangdut menggaung di setiap sudut kota dan di tengah-tengah pusat kota, suara terompet dan tontonan kembang api hampir menghiasi seluruh penjuru dunia di barat dan di timurnya. Tidak berbeda negara yang mayoritas penduduknya kafir ataupun muslim. Padahal, perayaan tersebut identik dengan hari besar orang Nasrani.
Banyak keyakinan batil yang ada pada malam tahun baru. Di antaranya, siapa yang meneguk segelas anggur terakhir dari botol setelah tengah malam akan mendapatkan keberuntungan. Jika dia seorang bujangan, maka dia akan menjadi orang pertama menemukan jodoh dari antara rekan-rekannya yang ada di malam itu. Keyakinan lainnya, di antara bentuk kemalangan adalah masuk rumah pada malam tahun tanpa membawa hadiah, mencuci baju dan peralatan makan pada hari itu adalah tanda kesialan, membiarkan api menyala sepanjang malam tahun baru akan mendatangkan banyak keberuntungan, dan bentuk-bentuk khurafat lainnya.
Sesungguhnya keyakinan-keyakinan batil tersebut diadopsi dari keyakinan batil Nasrani. Yang hakikatnya, mengadopsi dan meniru budaya batil ini adalah sebuah keharaman. Karena siapa yang bertasyabbuh (menyerupai) kepada satu kaum, maka dia bagian dari mereka.

Haramnya Bertasyabuh Kepada Orang Kafir
Secara ringkas, bertasyabbuh di sini maknanya adalah usaha seseorang untuk menyerupai orang lain yang ingin dia sama dengannya, baik dalam penampilan, karakteristik dan atribut.
Di antara perkara fundamental dari agama kita adalah memberikan kecintaan kepada Islam dan pemeluknya, berbara’ (membenci dan berlepas diri) dari kekufuran dan para ahlinya. Dan tanda bara’ yang paling nampak dengan berbedanya seorang muslim dari orang kafir, bangga dengan agamanya dan merasa terhormat dengan Islamnya, seberapapun hebat kekuatan orang kafir dan kemajuan peradaban mereka.
. . . tanda bara’ yang paling nampak dengan berbedanya seorang muslim dari orang kafir, bangga dengan agamanya dan merasa terhormat dengan Islamnya, seberapapun hebat kekuatan orang kafir dan kemajuan peradaban mereka.
Walaupun kondisi orang muslim lemah, terbelakang, dan terpecah-pecah, sedangkan kekuatan kafir sangat hebat, tetap kaum muslimin tidak boleh menjadikannya sebagai dalih untuk membebek kepada kaum kuffar dan justifikasi untuk menyerupai mereka sebagaimana yang diserukan kaum munafikin dan para penjajah. Semua itu dikarenakan teks-teks syar’i yang mengharamkan tasyabbuh (menyerupai) dengan orang kafir dan larangan membebek kepada mereka tidak membedakan antara kondisi lemah dan kuat. Dan juga karena seorang muslim -dengan segenap kemampuannya- harus merasa mulia dengan agamanya dan terhormat dengan ke-Islamnya, sehingga pun saat mereka lemah dan terbelakang.
. . . kondisi orang muslim lemah, terbelakang, dan terpecah-pecah, tetap tidak boleh dijadikan sebagai dalih untuk membebek kepada kaum kuffar dan justifikasi untuk menyerupai mereka
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyeru agar seorang muslim bangga dan terhormat dengan agamanya. Dia menggolongkannya sebagai perkataan terbaik dan kehormatan yang termulia dalam firmannya,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحاً وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?".” (QS. Fushilat: 33)
Karena sangat urgennya masalah ini, yaitu agar seorang muslim berbeda dengan orang kafir, Allah memerintahkan kaum muslimin agar berdoa kepada-Nya minimal 17 kali dalam sehari semalam agar menjauhkan dari jalan hidup orang kafir dan menunjukinya kepada jalan lurus.
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6-7)
Banyak sekali nash Al-Qur’an dan Sunnah yang melarang bertasyabbuh dengan mereka dan menjelaskan bahwa mereka dalam kesesatan, maka siapa yang mengikuti mereka berarti mengikuti mereka dalam kesesatan.
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
 “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiyah: 18)
Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (QS. Al-Ra’du: 37)
وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.” (QS. Ali Imran: 105)
Allah Ta’ala menyeru kaum mukminin agar khusyu’ ketika berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan membaca ayat-ayat-Nya, lalu Dia berfirman,
 “Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Hadid: 16)
Tidak diragukan lagi, menyerupai mereka termasuk tanda paling jelas adanya kecintaan dan kasih sayang terhadap mereka. Ini bertentangan dengan sikap bara’ah (membenci dan berlepas diri) dari kekafiran dan pelakunya. Padahal Allah telah melarang kaum mukminin mencintai, loyal dan mendukung mereka. Sedangkan loyal dan mendukung mereka adalah sebab menjadi bagian dari golongan mereka, -semoga Allah menyelamatkan kita darinya-.
Allah Ta’ala berfirman,
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka." (QS. Al-Baqarah: 51)
Menyerupai orang kafir termasuk tanda paling jelas adanya kecintaan dan kasih sayang terhadap mereka. Ini bertentangan dengan sikap bara’ah (membenci dan berlepas diri) dari kekafiran dan pelakunya.
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka." (QS. Al-Mujadilah: 22)
Ibnu Taimiyah berkata, “Menyerupai (mereka) akan menunbuhkan kasih sayang, kecintaan, dan pembelaan dalam batin. Sebagaimana kecintaan dalam batin akan melahirkan musyabahah (ingin menyerupai) secara zahir.” Beliau berkata lagi dalam menjelaskan ayat di atas, “Maka Dia Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan, tidak akan didapati seorang mukmin mencintai orang kafir. Maka siapa yang mencintai orang kafir, dia bukan seorang mukmin. Dan penyerupaan zahir akan menumbuhkan kecintaan, karenanya diharamkan.”
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka. (HR. Abu Dawud, Ahmad dan dishahihkan Ibnu Hibban. Ibnu Taimiyah menyebutkannya dalam kitabnya Al-Iqtidha’ dan Fatawanya. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2831 dan 6149)
Syaikhul Islam berkata, “Hadits ini –yang paling ringan- menuntut pengharaman tasyabbuh (menyerupai) mereka, walaupun zahirnya mengafirkan orang yang menyerupai mereka seperti dalam firman Allah Ta’ala, “Siapa di antara kamu yang berloyal kepada mereka, maka sungguh ia bagian dari mereka.” (QS. Al-Maidah: 51).” (Al-Iqtidha’: 1/237)
Imam al-Shan’ani rahimahullaah berkata, “Apabila menyerupai orang kafir dalam berpakaian dan meyakini supaya seperti mereka dengan pakaian tersebut, ia telah kafir. Jika tidak meyakini (seperti itu), terjadi khilaf di antara fuqaha’ di dalamnya: Di antara mereka ada yang berkata menjadi kafir, sesuai dengan zahir hadits; Dan di antara yang lain mereka berkata, tidak kafir tapi harus diberi sanksi peringatan.” (Lihat: Subulus salam tentang syarah hadits tesebut).
Ibnu Taimiyah rahimahullaah menyebutkan, bahwa menyerupai orang-orang kafir merupakan salah satu sebab utama hilangnya (asingnya syi’ar) agama dan syariat Allah, dan munculnya kekafiran dan kemaksiatan. Sebagaimana melestarikan sunnah dan syariat para nabi menjadi pokok utama setiap kebaikan. (Lihat: Al-Iqtidha’: 1/314)
1.    Bentuk Menyerupai Orang Kafir Dalam Hari Besar Mereka
Orang-orang kafir –dengan berbagai macam agama dan sektenya- memiliki hari raya yang beraneka ragam. Di antanya ada bersifat keagamaan yang menjadi pondasi agama mereka atau hari raya yang sengaja mereka ciptakan sendiri sebagai bagian dari agama mereka. Namun kebanyakannya berasal dari tradisi dan momentum yang sengaja dibuat hari besar untuk memperingatinya. Misalnya hari besar Nasional dan semisalnya. Lebih jauhnya ada beberapa contohnya sebagai berikut:
1.    Hari untuk beribadah kepada tuhannya, seperti hari raya wafat Jesus Kristus, paskah, Misa, Natal, Tahun Baru Masehi, dan semisalnya. Seorang muslim terkategori menyerupai mereka dalam dua kondisi:
Pertama, Ikut serta dalam hari raya tersebut. Walaupun perayaan ini diselenggarakan kelompok minoritas non-muslim di negeri kaum muslimin, lalu sebagian kaum muslimin ikut serta di dalamnya sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Ibnu Taimiyah dan Imam Dzahabi. Realitas semacam ini tersebar di negeri-negeri kaum muslimin. Lebih buruk lagi, ada sebagian kaum muslimin yang bepergian ke negeri kafir untuk menghadiri perayaan tersebut dan ikut berpartisipasi di dalamnya, baik karena menuruti hawa nafsunya atau untuk memenuhi undangan orang kafir sebagaimana yang dialami kaum muslimin yang hidup di negeri kafir, para pejabat pemerintahan, atau para bisnismen yang mendapat undangan rekan bisnisnya untuk menandatangi kontrak bisnis. Semua ini haram hukumnya dan ditakutkan menyebabkan kekufuran berdasarkan hadits, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Pastinya, orang yang melakukan itu sadar bahwa itu merupakan bagian dari syi’ar agama mereka.
Kedua, Mengadopsi perayaan orang kafir ke negeri kaum muslimin. Orang yang menghadiri perayaan orang-orang kafir di negara mereka, lalu dengan kajahilan dan lemahnya iman, ia kagum dengan perayaan tersebut. kemudian dia membawa perayaan tersebut ke negara-negara muslim sebagaimana perayaan tahun baru Masehi. Kondisi ini lebih buruk dari yang pertama, karena dia tidak hanya ikut merayakan syi’ar agama orang kafir di Negara mereka, tapi malah membawanya ke negara-negara muslim.
. . .perayaan tahun baru Masehi adalah tradisi dan syi’ar agama orang kafir di Negara mereka, namun telah dibawa dan dilestarikan di negara-negara muslim...
2.    Hari besar yang awanya menjadi syi’ar (simbol) orang-orang kafir, lalu dengan berjalannya waktu berubah menjadi tradisi dan perayaan global, seperti olimpiade oleh bangsa Yunani kuno yang saat ini menjadi ajang olah raga Internasional yang diikuti oleh semua Negara yang tedaftar dalam Komite Olimpiade Internasional (IOC). Ikut serta di dalamnya ada dua bentuk:
Pertama, menghadiri upacara pembukaan dan karnavalnya di negeri kafir seperti yang banyak di lakukan negara-negara muslim yang mengirimkan atlit-atlitnya untuk mengikuti berbagai ajang olah raga yang diadakan.
Kedua, membawa perayaan ini ke negera-negara muslim, seperti sebagian negeri muslim meminta menjadi tuan rumah dan penyelenggara Olimpiade ini.
Keduanya tidak boleh diadakan dan diselenggarakanaa di Negara-negara muslim dengan beberapa alasan :
a.    Olimpiade ini pada awalnya merupakan hari besar kaum pagan Yunani kuno dan merupakan hari paling bersejaran bagi mereka, lalu diwarisi oleh kaum Romawi dan dilestarikan kaum Nasrani.
b.    Ajang tersebut memiliki nama yang maknanya sangat dikenal oleh bangsa Yunani sebagai hari ritus mereka.
Keberadaannya yang menjadi ajang oleh raga tidak lantas merubah statusnya sebagai hari raya kaum pagan berdasarkan nama dan asal usulnya. Dasar haramnya perayaan tersebut adalah hadits Tsabit bin Dhahak radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Ada seseorang bernazar di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk menyembelih unta di Bawwanah –yaitu nama suatu tempat-, ia lalu mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata: “Aku bernazar untuk menyembelih unta di Bawwanah.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Apakah di sana ada berhala jahiliyah yang disembah?” Mereka berkata: “Tidak.” Beliau bertanya lagi: “Apakah di sana dilakukan perayaan hari raya mereka?” Mereka berkata: “Tidak.” Beliau bersabda: “Tunaikanlah nazarmu, sesungguhnya tidak boleh menunaikan nazar yang berupa maksiat kepada Allah dan yang tidak mampu dilakukan oleh anak Adam.” (HR. Abu Dawud dan sanadnya sesuai syarat as-Shahihain)
Ditimbang dengan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di atas, bahwa asal dari olah raga priodik ini ada hari raya orang kafir. Dan ini diharamkan sebagaimana diharamkannya menyembelih unta untuk Allah di tempat yang dijadikan sebagai perayaan hari raya orang kafir. Dan perbedaan waktu dan tempat tidak mempengaruhi dari subtansi alasan diharamkannya penyembelihan tersebut.
Ibnu Taimiyah rahimahullaah menjelaskan, hadits ini mengandung makna bahwa tempat yang digunakan untuk perayaan hari besar mereka tidak boleh digunakan untuk menyembelih walaupun itu bentuknya nazar. Sebagaimana tempat tersebut sebagai tempat menaruh berhala mereka. Bahwa nazar semacam itu menunjukkan pengagungan kepada tempat tersebut yang diagungkan mereka untuk merayakan hari besarnya atau sebagai bentuk ikut serta (partisipasi) dalam perayaan hari besar tersebut. Atau juga untuk menghidupkan syi’ar mereka di sana. Apabila mengistimewakan satu tempat yang menjadi perayaan agama mereka saja dilarang, bagaimana dengan perayaan itu sendiri?! (Diringkas dari al-Iqtidha’: 1/344)
Sedangkan olimpiade ini bukan hanya waktu atau tempatnya, tapi hari raya itu sendiri berdasarkan asal penamaanya dan aktifitas yang ada di dalamnya, seperti menyalakan lampu olimpiade. Padahal itu sebagai lambang hari besar mereka. Dan ajang olahraga ini juga dilaksanakan pas waktu perayaan hari besar olimpiade, yang dilaksanakan empat tahun sekali.
3.    Menyerupai Orang Kafir Dalam Merayakan Hari Besar Islam
Bentuk bertasyabbuh dengan orang kafir bisa terjadi juga dalam perayaan hari raya Islam, Idul Fitri dan Adha. Yaitu merayakan hari raya Islam dengan cara-cara yang bisa digunakan kaum kuffar dalam merayakan hari besar mereka.
Bahwa sesungguhnya, hari raya kaum muslimin dihiasi dengan syukur kepada Allah Ta’ala, mengagungkan, memuji dan mentaati-Nya. Bergembira menikmati karunia nikmat dari Allah Ta’ala tanpa menggunakannya untuk bermaksiat. Ini berbeda dengan hari raya kaum kuffar, dirayakan untuk mengagungkan syi’ar batil dan berhala-berhala mereka yang disembah selain Allah Ta’ala. Dalam perayaannya, mereka tenggelam dalam syahwat yang haram.
Namun sangat disayangkan banyak kaum muslimin yang di penjuru dunia yang menyerupai orang kafir dalam kemaksiatan itu. Mereka merubah nuansa Idul Fitri dan Idul Adha sebagai musim ketaatan dan syukur menjadi musim bermaksiat dan kufur nikmat, yaitu dengan mengisi malam-malamnya dengan musik-musik, nyanyir-nyanyi, mabuk-mabukan, pesta yang bercampur laki-laki dan perempuan dan bentuk pelanggaran-pelanggaran lainnya. Semua ini disebabkan mereka meniru cara orang kafir dalam merayakan hari besar mereka yang diisi dengan menuruti syahwat dan maksiat.

Semoga Allah membimbing kita kepada kondisi yang lebih diridhai-Nya, tidak menyimpang dari aturan Islam dan tidak bertasyabbuh dengan kaum kafir dalam acara-acara mereka.
Aktris Oki Setiana Dewi akan menikah pada 12 Januari mendatang dengan Ory Vitrio (Rio). Tidak seperti kebanyakan calon pengantin yang 'pamer' foto pre wedding, Oki dan Rio tidak akan melakukannya.
Sebagai muslimah yang taat, Oki tidak akan melakukan foto pre wedding yang membuat ia harus bersentuhan dengan calon suaminya. Karena menurutnya, sebelum sah sebagai sepasang suami istri, mereka bukan muhrim.
Oki lebih memilih untuk melakukan foto-foto usai mereka dinyatakan sah sebagai sepasang suami istri.
"Foto nanti pasca wedding. Insya Allah kan tanggal 12 menikah, 13 aku ultah yang ke-25 tahun, kalo pasca kan udah boleh pegangan. Kalo sekarang kan belum boleh," tegasnya seperti dikutip dari Kapanlagi.com, Kamis (26/12).
Sejumlah ulama memberikan fatwa tidak bolehnya foto pre wedding. Sebab, dalam praktiknya, foto pre wedding membuat sepasang calon pengantin bersentuhan, ikhtilat (bercampur baur) dan khalwat (berduaan bukan mahram). Padahal mereka belum sah sebagai suami istri.

Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur dalam batsul masail pada 14 Januari 2010 lalu termasuk yang menyimpulkan tidak bolehnya foto pre wedding.
Surat itu pendek. Ditulis oleh Hamka dan ditujukan pada Menteri Agama RI Letjen. H. Alamsyah Ratuperwiranegara. Tertanggal 21 Mei 1981, isinya pemberitahuan bahwa sesuai dengan ucapan yang disampaikannya pada pertemuan Menteri Agama dengan pimpinan MUI pada 23 April, Hamka telah meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Buat banyak orang pengunduran diri Hamka sebagai Ketua Umum MUI mengagetkan. Timbul bermacam dugaan tentang alasan dan latar belakangnya. Agaknya sadar akan kemungkinan percik gelombang yang ditimbulkannya, pemerintah dalam pernyataannya mengharapkan agar mundurnya Hamka “jangan sampai dipergunakan golongan tertentu untuk merusak kesatuan dan persatuan bangsa, apalagi merusak umat lslam sendiri.”
Kenapa Hamka mengundurkan diri? Hamka sendiri  mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa. Menurut K.H.M. Syukri Ghozali, Ketua Komisi Fatwa MUI, fatwa tersebut sebetulnya dibuat untuk menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal umat Islam. “Jadi seharusnya memang tidak perlu bocor keluar,” katanya.
Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret pada pengurus MUI di daerah-daerah. Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei 1981 memuat fatwa tersebut, yang mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama no. 3/April 1981. Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga beredar pada mereka yang bukan pengurus MUI. Yang menarik, sehari setelah tersiarnya fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali beredarnya fatwa tersebut. Surat keputusan bertanggal 30 April 1981 itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI.
Menurut SK yang sama, pada dasarnya menghadiri perayaan antar agama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan, antara lain Misa, Kebaktian dan sejenisnya. Bagi seorang Islam tidak ada halangan untuk semata-mata hadir dalam rangka menghormati undangan pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial, bukan ritual. Tapi bila itu soalnya, kenapa heboh? Rupanya “bocor”nya Fatwa MUI 7 Maret itu konon sempat menyudutkan Menteri Agama Alamsyah. Hingga, menurut sebuah sumber, dalam pertemuannya dengan pimpinan MUI di Departemen Agama 23 April, Alamsyah sempat menyatakan bersedia berhenti sebagai Menteri. Kejengkelan Menteri Agama agaknya beralasan juga. Sebab rupanya di samping atas desakan masyarakat, fatwa itu juga dibuat atas permintaan Departemen Agama. “Menteri Agama secara resmi memang meminta fatwa itu yang selanjutnya akan dibicarakan dulu dengan pihak agama lain. Kemudian sebelum disebarluaskan Menteri akan membuat dulu petunjuk pelaksanaannya,” kata E.Z. Muttaqien, salah satu Ketua MUI.
Ternyata fatwa itu keburu bocor dan heboh pun mulai. Melihat keadaan Menteri itu, Hamka kemudian minta iin berbicara dan berkata, menurut seorang yang hadir, “Tidak tepat kalau saudara Menteri yang harus berhenti. Itu berarti gunung yang harus runtuh.” Kemudian inilah yang terjadi: Hamka yang mengundurkan diri. “Tidak logis apabila Menteri Agama yang berhenti. Sayalah yang bertanggungjawab atas beredarnya fatwa tersebut …. Jadi sayalah yang mesti berhenti,” kata Hamka pada Pelita pekan lalu. Tapi dalam penjelasannya yang dimuat majalah Panji Masyarakat 20 Mei 1981, Hamka juga mengakui adanya “kesalahpahaman” antara pimpinan MUI dan Menteri Agama karena tersiarnya fatwa itu.
Kepada TEMPO Hamka mengaku sangat gundah sejak peredaran fatwa itu dicabut.“Gemetar tangan saya waktu harus mencabutnya. Orang-orang tentu akan memandang saya ini syaithan. Para ulama di luar negeri tentu semua heran. Alangkah bobroknya saya ini, bukan?” kata Hamka. Alasan itu agaknya yang mendorong lmam Masjid Al Azhar ini menulis penjelasan, secara pribadi, awal Mei lalu. Di situ Buya menerangkan: surat pencabutan MUI 30 April itu “tidaklah mempengaruhi sedikit juga tentang kesahan (nilai/kekuatan hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh.” HAMKA juga menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama ahli-ahli agama dari ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam tingkat nasional — termasuk Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam Golkar.
Buya Hamka tercatat sebagai ketua MUI pertama sejak tahun 1975. Keteguhannya memegang prinsip yang diyakini membuat semua orang menyeganinya. Pada zamam pemerintah Soekarno, Buya Hamka berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti di situ saja, Buya Hamka juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari Buya Hamka lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.
Ketika menjadi Ketua MUI, Buya Hamka meminta agar anggota Majelis Ulama tidak digaji. Permintaan yang lain: ia akan dibolehkan mundur, bila nanti ternyata sudah tidak ada kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerjasama antara pemerintah dan ulama. Mohammad Roem, dalam buku Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka, menyebut masalah gaji itu sebagai bagian dari “politik Hamka menghadapi pembentukan Majelis Ulama”. Ulama mubaligh ini, menurut Roem, kuat sekali menyimpan gambaran “ulama yang tidak bisa dibeli“. Walaupun gaji sebenarnya tidak usah selalu menunjuk pada pembelian, kepercayaan diri ulama sendiri agaknya memang diperlukan.
******
TAK ada lagi Buya Hamka. orang tak akan menantikan khotbahnya di Masjid Al Azhar. Tak akan mendengarkan suaranya yang serak itu lagi, pada malam tarawih, pada kuliah pagi, pada pengajian subuh lewat RRI — untuk seluruh Indonesia. Suara yang sangat dikenal itu akan tak ada lagi. Selama-lamanya.
Ulama sangat penting itu berpulang “di hari baik bulan baik”, hari Jum’at 21 Ramadhan (24 Juli), “ketika bulan puasa masuk tahap ketiga” atau tahap lailatul qadar, menurut pengertian orang santri. Memang menunjukkan keutamaan: ribuan orang yang mengiring jenazahnya ke pemakaman, dan yang keluar ke pinggir-pinggir jalan, boleh dikatakan semuanya orangorang yang berpuasa dan baru turun dari sembahyang Jum’at. Entah apa yang menggertak mereka itu: dalam waktu hanya empat jam, dan tanpa sempat disiarkan koran (meninggal pukul 10.30, dan diberangkatkan ke pemakaman pukul – 14.30), ribuan para pelayat memenuhi jalan dan pekuburan dengan kendaraan yang macet panjang di daerah Kebayoran Lama dan Tanah Kusir.
Hamka memang sudah hampir tidak berarti “golongan” agama. Juga tidak hanya seorang “kiai”. Barangkali memang inilah ulama pertama yang dipunyai Indonesia, yang sangat paham “hidup di luar masjid”. .
Abdul Malik (bin Abdul) Karim Amrullah, HAMKA, dilahirkan di Negeri Sungai Batang, di sebuah rumah di pinggir Danau Maninjau yang molek di tanah Minangkabau. “Nama ibuku Shafiyah,” katanya dalam bukunya Kenang-kenangan Hidup. “Beliau meninggal pada usia masih muda, sekitar 42 tahun. Beliau dianugerahi Tuhan sepuluh orang putra. Lima dengan ayahku dan lima pula dengan suaminya yang kedua. Ibuku cantik! . . . ” la sangat memuja ibunya — sebagaimana juga istrinya yang pertama, nanti, Siti Raham. Ayahnya, yang ia kagumi, hanya sebentar-sebentar tampak menyelinap dalam hidup intelektualnya –meski dengan pengaruh sangat kuat.
Haji Rasul, nama asli sang ayah, adalah orang pribumi pertama yang mendapat gelar doktor honoris causa — dari Universitas Al Azhar, Kairo, tempat ia sendiri belakangan juga mendapat gelar yang sama di tahun 1958 –dan pemimpin pesantren Sumatra Thawalib yang masyhur di Padangpanjang. Kenang-kenangan masa kecil inilah yang, bagi siapa yang membaca buku-bukunya, termasuk Ayahku, membentuk jiwa anak muda yang bengal namun lembut itu. Si Malik itu seorang jagoan kecil dulu. Belajar silat, belajar iniitu, kemudian lari ke Jawa dan berguru pada H.O.S. Tjokroaminoto dan Suryopranoto, ikut pergerakan, lari ke Mekah — dan akan tinggal di sana kalau saja tidak dinasihati Haji Agus Salim untuk pulang. Dan jangan lupa: pemuda ini juga bercinta — di kapal, misalnya, meski akhirnya tak jadi kawin. Ia sendiri mengakui sifat-sifatnya yang dulu: kecuali pemarah, pantang tersinggung dan perajuk, “juga lekas jatuh hati kepada gadis-gadis” . . . Memang sangat manusiawi. Ia memang akhirnya menjadi seperti yang dicita-citakan ayahnya: mengganti kedudukannya sebagai ulama, seperti juga neneknya dan ayah neneknya.
Tapi bahwa ia tak seperti mereka, terlihat misalnya dari sikap Buya kepada poligami: Hamka termasuk ulama yang tidak merestuinya. Kenang-kenangannya masa bocah, dari sebuah keluarga yang pecah, yang berpoligami dan bercerai, rupanya cukup tajam untuk menggugah jiwa halusnya. Kenang-kenangan itulah, bersama dengan penghayatannya kepada adat Minangkabau, yang menjadi modal pokok roman-romannya yang memeras air mata: Di Bawah Lindungan Ka’bahTenggelamnya Kapal van der WijkSi SabariahDijemput Mamaknya, Merantau ke Deli, dan kumpulan cerpen Di Dalam Lembah Kehidupan.
Hamka bukan sekedar “ulama yang bersastra”. Ia ulama, dan ia pengarang. Hanya segi sastra itu makin mundur ke belakang sejalan dengan usianya yang menua, maupun tugas-tugasnya yang menjadi makin formal agama. Ketika ia menulis tafsir Qur’annya yang 30 jilid, yang diberinya judul dengan nama masjid yang dicintainya, Al Azhar, kemampuan kepengarangan itu tidak lahir dalam wujud bahasa yang disengaja indah Namun orang toh tahu bahwa caranya bertutur betapapun berbeda. Tafsir itu sendiri dikerjakannya di penjara rezim Soekarno. Ia ditangkap persis ketika sedang memberi pengajian ‘. Kepada seratusan ibu-ibu di bulan Ramadhan. Pengalaman itu ada terasa menerbitkan rasa pahit juga. Namun bahwa Hamka. “mudah memaafkan dan menyesuaikan diri”, terlihat dari misalnya pergaulannya dengan keluarga Bung Karno — Nyonya Fatmawati terutama — yang sangat baik sampai akhir hayat.
Ulama ini memang memenuhi fungsi pemimpin rohani yang paling pokok jadi pelayan. Asal jangan ditekan, dan jangan dibeli. Kata-katanya enam bulan lalu, ketika jilid terakhir tafsir itu selesai dicetak, merupakan salah satu firasat. “Nampaknya, tugas yang menjadi beban selama ini selesai. Tinggal lagi kini menunggu panggilan llahi . . . ” Dan panggilan itu pun datang kini.
Kita kehilangan seorang ulama besar. Kita kehilangan seorang pemikir besar. Kita kehilangan seorang sastrawan besar, ” komentar Menteri Agama Alamsyah, ketika melepas jenazah almarhum di pekuburan. E.Z. Muttaqien, salah seorang ketua Majelis Ulama Indonesia sekarang ini mengakui: “Akhir-akhir ini beban Buya Hamka memang sangat berat. Kesehatannya tidak memungkinkannya lagi memikul beban itu.”
*****
Puisi ini ditulis Buya Hamka pada tanggal 13 November 1957 setelah mendengar pidato M. Natsir yang mengurai kelemahan system kehidupan buatan manusia dan dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar Negara RI.
KEPADA SAUDARAKU M. NATSIR
Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir

Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi

Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu……!

(dikutip dari buku “Mengenang 100 tahun HAMKA”)
Sajak berikut merupakan rangkaian dari sajak berbalas dari M Natsir pada Buya Hamka yang sebelumnya menyusun sajak untuk M Natsir yang berjudul “Kepada saudaraku M Natsir”.
DAFTAR
Saudaraku Hamka,
Lama, suaramu tak kudengar lagi
Lama…

Kadang-kadang,
Di tengah-tengah si pongah mortir dan mitralyur,
Dentuman bom dan meriam sahut-menyahut,
Kudengar, tingkatan irama sajakmu itu,
Yang pernah kau hadiahkan kepadaku,

Entahlah, tak kunjung namamu bertemu di dalam ”Daftar”.
Tiba-tiba,
Di tengah-tengah gemuruh ancaman dan gertakan,
Rayuan umbuk dan umbai silih berganti,
Melantang menyambar api kalimah hak dari mulutmu,
Yang biasa bersenandung itu,
Seakan tak terhiraukan olehmu bahaya mengancam.

Aku tersentak,
Darahku berdebar,
Air mataku menyenak,
Girang, diliputi syukur

Pancangkan !
Pancangkan olehmu, wahai Bilal !
Pancangkan Pandji-pandji Kalimah Tauhid,
Walau karihal kafirun…
Berjuta kawan sefaham bersiap masuk
Kedalam ”daftarmu” … *

Saudaramu,
Tempat, 23 Mei 1959

*****
Update 7 Oktober 2011 ( Masalah Fatwa Haram Mengikuti Upacara Natal)
Update tulisan ini sehubungan dengan ada komentar dari sahabat tentang tulisan : “Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa” … kata “mengharapkan” mungkin maksudnya “mengharamkan” … tetapi saya tidak meralat tulisan itu karena sesuai dengan sumber yang ada di Majalah Tempo. Saya coba cari dan telusuri seputar tulisan diatas ternyata di Majalah Tempo edisi sebelumnya 16 Mei 1981 memuat berita seputar fatwa haram itu. Berikut urainnya :
Fatwa dan Kebocoran (Konon) (ref)
ADA yang sedikit kabur sekitar fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) yangmengharamkan mengikuti upacara Natal bagi umat Islam. Fatwa itu, disiarkan sementara pers minggu lalu, berasal dari buletin Majlis Ulama edisi April dan ditandatangani KHM Syukri Ghozali dan Drs. H. Mas’udi, sebagai Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI. Yang menarik: hanya satu hari setelah penyiaran itu, dimuat pula ‘surat pencabutannya — kali ini dari pimpinan pucuk, yakni Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko sebagai ketua umum dan sekretaris umum MUI.
Dalam surat keputusan itu praktis difatwakan pula soal yang sama tapi dengan tekanan berbeda. “Pada dasarnya,” disebut sebagai diktum kedua dari empat diktum, ” menghadiri perayaan antaragama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan . . . ” Yang juga menarik: bunyi “fatwa” terakhir itu sejalan benar dengan isi pidato Menteri Agama Alamsyah sebelumnya — dalam acara ‘Kegiatan Bersama Antar Umat Beragama’ di Jambi, 6 Maret. Tapi yang barangkali paling menarik Prof. Hamka kemudian, secara pribadi, menulis di salah satu harian yang memuat berita fatwa itu, Kompas.
Di situ Buya menerangkan: surat pencabutan MUI tersebut “tidaklah mempengaruhi sedikit juga kesahan (nilai/kekuatan hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh.” Apa maksudnya sebenarnya? Apa yang terjadi? Betulkah yang terjadi sekedar kurangnya koordinasi? Ataukah surat pencabutan itu, sebelumnya, dikeluarkan karena ada “tekanan “? Tak ada satu sumber pun yang bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas secara tuntas. Tapi ada penjelasan tentang sebuah “kebocoran”.
Semua tokoh MUI menyatakan, fatwa itu sebenarnya hanya untuk “kalangan dalam”: para pengurus MU di daerah-daerah. Dan memang dikirimkan kepada mereka dengan surat nomor sekian-sekian tertanggal 27 Maret –jadi sudah lama — untuk menjadi pedoman para ulama itu. Tapi mengapa dimuat di buletin, yang bisa dibaca tidak hanya oleh para pengurus MU, kalau begitu? “Itu untuk informasi intern saja,” jawab KH Hasan Basri, salah seorang ketua MUI. Agak aneh barangkali — namun buletin itu memang dicetak hanya sekitar 300 eksemplar.
Menurut Kiai Syukri, fatwa Komisi itu sebetulnya dulu dibuat (7 Maret) untuk “bahan menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal umat Islam.” Jadi seharusnya memang “tidak perlu bocor keluar.” Tapi bagi Burhani Tjokrohandoko, yang juga Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji departemen tersebut, “kebocoran” itu sebenarnya dipandang dari segi belum disahkannya fatwa itu oleh Sidang Pleno. Baru oleh Dewan Pengurus Harian.
Menurut Kiai Syukri, yang hadir dari Pengurus Harian itu tak kurang dari 0% — lebih dari 50 orang. Burhani sendiri berhalangan datang waktu itu, tapi Hamka hadir. Hanya ketua umum itu memang belum membubuhkan tanda tangan. Toh keputusan itu sudah sah rupanya (berdasar wewenang Komisi Fatwa) untuk dibawa ke Menteri Agama. Sebab, kata para pimpinan MUI, keputusan tersebut memang dibikin atas desakan umat — antara lain yang menulis berbagai surat ke Departemen Agama, menanyakan masalah perayaan Natal yang diselenggarakan orang-orang Islam. Lalu ada surat dari Departemen Agama, meminta agar dikeluarkan fatwa tentang itu.
Bahkan menurut Hamka, pernah ada pembicaraan antara Buya dan Menteri Agama sehubungan dengan hal tersebut. Kiai Syukri menuturkan, bahwa di Kantor MUI (sebelum pindah — dari Masjid Al Azhar ke Masjid Istiqlal, 11 Mei kemarin) terdapat sekitar 30 surat yang meminta MUI mengeluarkan pedoman. Tetap Ditakutkan Itu memang bisa mengingatkan pada kasus seperti perayaan Natal untuk gelandangan, yang pernah diprakarsai Pendeta Lumy di Senayan dulu. Atau, seperti disebut dalam pertimbangan fatwa sendiri, kasus-kasus “kekurang mengertian” umat Islam sendiri di daerah-daerah. Pokoknya segala hal yang menyangkut soal ‘kristenisasi’, yang rupanya tetap ditakutkan.
Hanya saja, fatwa MUI kali ini ditanggapi sebagai sesuatu yang kaku dan merepotkan. Bayangkan: para pejabat yang Islam, misalnya, dengan fatwa tersebut bisa tak dibenarkan datang ke perayaan Natal. luga ketua RT, misalnya. “Maklum, yang bikin memang para ulama yang dalam soal hukum letterlijk saja,” kata Kiai Hasan Basri membenarkan kekakuan itu. Dan itulah sebabnya surat pencabutan itu bermanfaat, katanya. Fungsinya, dalam soal fatwanya sendiri, “menerangkan yang mujmal, ” yang masih umum. Yakni: apa yang dimaksud “mengikuti upacara Natal” dalam fatwa tadi. O, ternyata: mengikuti peribadatan. Bukan sekedar hadir. Jadi tak ada yang bertentangan, tak ada yang dicabut, kata Hamka, sambil tertawa. Apa pun yang sesungguhnya terjadi, Departemen. Agama memang akan mengadakan pertemuan dengan Badan Musyawarah Antar Umat Beragama di Jakarta 25 Mei. Pembicaraannya yang terpenting memang soal “perayaan apa saja yang dapat dihadiri pemeluk agama lain,” seperti dituturkan Menteri Alamsyah kepada pers.