Bagi umat Islam mengkonsumsi makanan yang
halal dan thoyib merupakan bagian dari perintah agama. Demikian juga
meninggalkan makanan yang haram adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Kesadaran masyarakat muslim terhadap perkara yang wajib ini tak perlu
dipertanyakan lagi, karena sudah menjadi suatu pedoman hidup. Sebagai konsumen
produk pangan, sudah seharusnya umat Islam mendapatkan jaminan dari para
produsen atas kehalalan produk-produk pangan yang beredar di komunitas muslim.
Faktanya, Konsumen sulit untuk mengetahui apakah suatu produk mengandung bahan
haram ataukah tidak, kecuali bila produk tersebut mendapatkan sertifikat halal
dari lembaga berwenang di dalam atau di luar negeri. Meski begitu, tidaklah
berarti produk tak bersertifikat halal semuanya mengandung bahan haram. Selain
produk pangan, ada produk lainnya yang status kehalalannya belum menjadi
perhatian masyarakat yaitu produk obat-obatan, khususnya obat yang digunakan
dengan cara ditelan atau diminum. Hingga saat ini penulis belum pernah melihat
obat resep dokter yang berlabel halal. Bagaimanapun juga obat yang ditelan pada
hakekatnya adalah makanan. Sebagaimana yang juga dikatakan oleh para perintis
ilmu kedokteran seperti Hipokrates ataupun Ibnu Sina (Avisena) bahwa obat
adalah makanan dan makanan pun adalah obat. Jelas sekali obat dan makanan
adalah dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Oleh karena itu maka status
kehalalan obat-obatan terutama yang ditelan adalah wajib adanya bagi kaum
muslim. Sekarang ini untuk produk minuman dan makanan olahan, sertifikasi
kehalalannya sudah diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1996.
Sertifikat halal ini diberikan setelah suatu produk pangan diperiksa oleh
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI),
melalui proses audit yang ketat dalam hal asal-usul bahannya, komponen
campurannya maupun proses produksinya. Namun, sayang sekali pada prakteknya
sertifikasi halal produk pangan ini tidak diwajibkan kepada tiap produsen,
tetapi hanya bersifat sukarela bergantung kepada kemauan produsen apakah mau
ataukah tidak untuk mendapatkan sertifikat halal. Dan yang lebih disayangkan
lagi adalah karena sertifikasi halal ini belum menyentuh kepada produk
obat-obatan resep dokter. Sepertinya masyarakat kita sampai saat ini masih
sangat-sangat permisif terhadap status halalnya obat-obatan, meskipun di
dalamnya mungkin terdapat bahan-bahan yang berasal dari barang yang haram,
misalnya babi. Sikap permisif ini barangkali karena adanya pemahaman tentang
Hukum Darurat yang kurang terkontrol. Padahal dalam ajaran Islam, darurat itu
ada batasannya. Memang benar bahwa barang yang haram itu bisa menjadi halal
bila dalam keadaan yang sangat darurat, sebagaimana halnya bangkai hewan, darah
ataupun daging babi yang bisa halal dimakan bila dalam keadaan darurat (Alquran
Surat Al-Baqarah : 173). Namun dalam kasus obat-obatan sepertinya hukum darurat
ini kesannya terlalu diperlebar dan berlebihan, sehingga bahan obat apapun akan
dianggap halal tanpa kecuali, karena berlindung di balik tameng darurat. Kalau
kita menyimak prinsip hukum darurat yang digambarkan dalam Al-Qur’an maupun
Hadist, sebenarnya hukum darurat itu diterapkan hanya bila dalam keadaan yang
sangat terpaksa saja. Sebagaimana juga dalam masalah dihalalkannya bangkai
hewan, yaitu bilamana minimal dalam sehari semalam (misalnya di tengah gurun
pasir) tidak menemukan makanan apapun, kecuali hanya bangkai binatang itu saja
satu-satunya. Namun mengkonsumsinya pun tidak boleh berlebihan, tapi sekedar
untuk bisa bertahan hidup. Adapun dalam hal obat-obatan resep dokter, dengan
semakin majunya bidang farmasi, maka banyak sekali variasi dan jenis
obat-obatan yang umumnya berasal dari bahan yang tidak haram. Dengan demikian
masyarakat ataupun para dokter mempunyai banyak pilihan atau alternatif dalam
menentukan jenis obat yang tepat dan rasional untuk diresepkan bagi pasiennya.
Bahan haram dalam obat :
1. Unsur Babi (Porcine)
Menurut ahli farmasi bahwa bahan-bahan
aktif obat pada merk obat tertentu, bila diteliti lebih jauh ada yang
menggunakan bahan baku yang diharamkan di dalam ajaran Islam, misalnya babi.
Sebagai contoh, ada obat suntik merk tertentu untuk mengobati penyakit kencing
manis (diabetes melitus) yang berasal dari hormon insulin babi (porcine).
Sementara itu banyak pula obat suntik lainnya yang khasiat dan fungsinya sama
untuk kecing manis, tetapi tidak berasal dari porcine atau babi. Lantas apakah
masih bisa diyakini bahwa obat yang berasal dari babi itu masih halal digunakan
dengan alasan darurat, padahal ada obat lainnya yang halal ? Bila hukum darurat
ini dipahami dengan sebenarnya, maka pasti tidak akan ada muslim yang berani
menghalalkan obat yang berasal dari babi ini, karena dasar untuk hukum
daruratnya saat ini tidak terpenuhi. Hal ini mengingat masih banyak pilihan
merk obat lainnya yang tidak mengandung unsur babi. Oleh karena itu pemahaman
yang berasumsi bahwa benda apapun akan halal dikonsumsi bila untuk obat,
haruslah segera ditinggalkan jauh-jauh karena tidak sesuai dengan Syariah.
Selama ini umumnya masyarakat tidak mengetahui dari apa saja dibuatnya bahan
aktif suatu obat. Demikian juga pada brosur obat-obatan yang ada, produsen obat
biasanya tidak menjelaskan asal-usul bahan aktif dan bahan penyerta pada produk
obatnya secara lengkap. Para dokter pun mungkin belum tentu semuanya mengetahui
asal-usul dibuatnya bahan dasar semua obat-obatan. Hal ini karena di dalam
kurikulum pendidikan dokter, masalah asal-usul bahan dasar pada setiap jenis
obat ini tidak dibahas secara lengkap. Dalam materi kuliah tentang obat bagi
mahasiswa kedokteran memang lebih ditekankan kepada mempelajari masalah
mekanisme kerja obat di dalam tubuh, termasuk dalam hal khasiat obat, reaksi
kimia, dosis, efek samping dll. Sedangkan masalah teknologi bahan obat maupun
teknis pembuatan obat tidak dipelajari lebih jauh, karena masalah ini adalah
bidangnya kalangan farmasi. Oleh karena itu para ahli farmasi muslim perlu
sekali menjelaskan, bahan aktif obat apa saja yang berasal dari bahan-hahan
yang haram, agar umat Islam mudah untuk menghindarinya. Hal ini mengingat bahwa
obat-obatan itu umumnya adalah produk impor dari luar negeri, yang diciptakan
atau diformulasikan oleh ilmuwan yang belum tentu mengenal masalah halal dan
haram.
2. Alkohol (Etanol)
Bahan obat lainnya yang mungkin masih
dianggap darurat adalah alkohol (etanol) yang biasa dipakai sebagai pelarut
pada obat-obatan sirup jenis tertentu. Masalah alkohol ini memang ada
perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslimin tentang status halal dan haramnya
di dalam obat, terutama dalam penggunaan untuk campuran obat-obat sirup.
Namun, perlu juga kita ketahui, hasil rapat Komisi Fatwa MUI tahun 2001
menyimpulkan bahwa minuman keras adalah minuman yang mengandung alkohol minimal
1 % (satu persen). Menurut analisis para pakar, memang minuman beralkohol
(etanol) di atas 1% akan berpotensi memabukkan. Hal ini merujuk pada
keterangan hadis Rasulullah SAW riwayat Muslim dan Ahmad. Dalam hadis
tersebut disebutkan bahwa Rasulullah SAW melarang meminum air jus buah-buahan
yang sudah didiamkan lebih dari 2 (dua) hari karena bisa memabukkan (khamar).
Menurut pakar teknologi pangan, memang air jus buah yang didiamkan lebih dari 2
hari di dalam suhu kamar akan menghasilkan alkohol (etanol) dengan kadar
sekitar 1 %. Dengan adanya patokan 1 % ini, maka akan mudahlah bagi kita untuk
memilih dan menentukan apakah suatu produk obat sirup itu dikatagorikan sebagai
minuman keras atau bukan. Pembatasan kadar alkohol ini sangat perlu dan
dimaksudkan untuk mencegah, karena prinsip Islam itu adalah mencegah ke arah
yang haram. Pada acara muzakarah tentang alkohol dalam minuman yang
diselenggrakan MUI pada tahun 1993, dr Kartono Muhammad MPH, selaku ketua umum
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) saat itu, mengatakan bahwa fungsi alkohol dalam
obat yang diminum sudah dapat digantikan dengan bahan lain sehingga disarankan
untuk mencari alternatif pengganti alkohol dengan jenis pelarut lainnya yang
lebih aman secara Syariah. Kenyataan yang ada di masyarakat sekarang ini tidak
sedikit obat-obatan sirup tertentu yang mengandung kadar alkohol yang lebih
dari batas 1 %, baik obat resep dokter maupun obat yang dijual bebas.
Akan tetapi ternyata merk obat sirup yang tanpa alkohol ataupun yang alkoholnya
kurang dari 1%, jumlahnya jauh lebih banyak dari pada obat sirup yang berkadar
alkohol lebih dari 1%. Oleh karena itu tidak ada lagi alasan darurat
untuk menghalalkan obat sirup yang kadar alkoholnya lebih dari 1 %, karena
masih banyak pilihan obat lainnya baik yang berbentuk sirup maupun pil atau
serbuk puyer yang memang tanpa alkohol. Bila alkohol atau etanol ini berada
pada campuran obat-obatan antiseptik untuk pemakaian pada tubuh bagian luar
atau permukaan kulit, dan bukan untuk diminum, tentunya masih bisa
dimaklumi. Meskipun larutan antiseptik kulit umumnya berkadar alkohol 70
%, hal ini tidak perlu untuk dipermasalahkan, karena obat luar ini tidak untuk
diminum. Bila melihat dalilnya di dalam Alquran maupun hadis bahwa khamar
(minuman keras) itu hanyalah haram untuk diminum. Tetapi, bila minuman
keras ini hanya disentuh atau dioleskan ke permukaan kulit maka tidak akan
menjadikannya haram. Mungkin untuk masalah ini masih terdapat perbedaan
pendapat di antara kaum muslimin. Oleh karena itu walaupun larutan antiseptik
ini kadar alkoholnya hingga 70 % dan sangat berpotensi memabukkan atau
bahkan bisa mematikan bila diminum, tapi tidaklah terlarang untuk dioleskan ke
kulit yang luka. Jatuhnya hukum haram itu apabila larutan memabukkan ini
diminum, dan bukannya dioleskan ke kulit. Dengan demikian, penggunaan
alkohol yang berkadar lebih dari 1 % untuk penggunaan antiseptik di permukaan
kulit yang terinfeksi atau luka, masih bisa diterima oleh dalil Syariah. Lantas
bagaimanakah hukumnya meminum minuman keras (khamar) untuk tujuan pengobatan
menurut pandangan para fuqoha? Di dalam kitab Fikih Sunnah Sayyid Sabiq
dikatakan bahwa dahulu pada zaman jahiliyah, ada orang-orang yang biasa meminum
arak dengan dalih untuk pengobatan. Namun setelah datang ajaran Islam
yang dibawa Rasulullah Saw, mereka dilarang menggunakannya dan sekaligus
diharamkan meminumnya meskipun untuk tujuan pengobatan. Imam Ahmad,
Muslim, Abu Daud dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Thariq bin Suaid Al Ju'fie,
bahwasanya Suaid menanyakan kepada Rasulullah SAW mengenai khamar, lalu
Rasulullah SAW melarangnya. Kemudian ia menjelaskan kepada Rasulullah
bahwa minuman keras ini dibuatnya untuk pengobatan, lalu beliau bersabda :
''Sesungguhnya khamar itu bukan obat, tapi justru penyakit.'' Dalam hal obat
yang berpotensi memabukkan, barangkali hanya obat bius (anestesi) saja yang
bisa dikatagorikan darurat. Bagaimanapun juga, sesungguhnya orang yang
dibius di kamar operasi bedah itu, pada dasarnya adalah orang yang sengaja
dibuat mabuk hingga tak sadarkan diri, hanya saja mabuknya terkendali. Namun
status darurat bagi obat bius pun ada batasannya. Tentu saja batasannya
adalah: siapa yang memakainya dan untuk apa tujuannya. Dengan demikian
status darurat obat bius ini hanyalah berlaku bila digunakan oleh ahlinya untuk
tujuan pengobatan yang rasional, dan bukan untuk drug abuse atau penyalahgunaan
obat, seperti untuk teler atau mabuk-mabukan. Oleh karena itu hukum
darurat obat bius ini akan berlaku bila pemakaiannya bukan untuk perilaku yang
bertentangan dengan aturan Allah SWT.
3. Plasenta dan air kemih
Akhir-akhir ini organ tubuh yang disebut
plasenta sedang tren digunakan dalam produk kosmetika maupun obat
tertentu. Plasenta atau disebut juga ari-ari, adalah jaringan yang tumbuh
di dalam rahim wanita ketika hamil, yang merupakan penghubung antara janin yang
dikandung dengan ibu hamil yang mengandungnya. Plasenta ini berfungsi
untuk menyalurkan zat-zat makanan, air, oksigen, dan zat-zat lainnya dari
darah ibu hamil ke darah janin. Sebaliknya plasenta juga berfungsi untuk
membuang karbondioksida, sisa metabolisme atau sampah, serta zat-zat lainnya
dari janin ke tubuh ibu hamil. Plasenta atau ari-ari ini memang selalu
ditemukan pada semua makhluk hidup jenis mamalia yang sedang hamil, dan akan
lepas dibuang dari rahim ketika melahirkan setelah keluarnya bayi. Adapun
plasenta yang sering digunakan untuk kosmetika atau produk kesehatan tersebut,
bisa berasal dari plasenta hewan atau dari plasenta manusia. Sebagaimana
diketahui bahwa sekarang ini pada layar televisi sering dijumpai iklan produk
kecantikan atau produk untuk kesehatan yang tanpa kita sadari menggunakan
plasenta sebagai salah satu bahan aktifnya. Plasenta dalam bentuk krim yang
dioleskan ke permukaan kulit maupun dalam bentuk pil yang ditelan, diyakini
dapat berfungsi untuk regenerasi sel-sel kulit sehingga dapat mempertahankan
kulit agar tetap sehat, segar, muda dan cantik. Tidak hanya itu, plasenta
juga diyakini mampu mengembalikan kemulusan kulit akibat luka atau penyakit
kulit. Tetapi dari manakah plasenta ini berasal? Menurut ahli farmasi,
yang paling banyak digunakan oleh industri obat-obatan di luar negeri, justru
adalah plasenta manusia yang diperoleh dari berbagai rumah sakit bersalin di
sana. Kalaupun plasentanya berasal dari hewan, tentunya konsumen pun tidak akan
tahu hewan apa yang diambil plasentanya, apakah babi, sapi ataukah apa?
Dalam ingredien atau daftar komposisi pada kemasan produk obat berplasenta ini
memang biasanya tidak disebutkan asal-usul plasentanya. Meskipun kebanyakan
penggunaan plasenta manusia ini bukan untuk produk pangan, akan tetapi
penggunaan organ tubuh atau setidaknya penggunaan bagian dari kehidupan manusia
ini telah menimbulkan pro dan kontra. Selain dari segi peradaban,
sebetulnya yang lebih penting bagi umat Islam adalah halal atau tidaknya
penggunaan plasenta maupun jaringan tubuh manusia lainnya bila dikonsumsi untuk
tujuan pengobatan. Demikian pula pengobatan tradisional dengan cara meminum air
kencing (urine) yang keluar dari alat kelamin orang yang meminumnya, telah
menjadi kontroversi di kalangan umat Islam, mengingat air kencing menurut
ajaran Islam termasuk benda yang najis. Di kalangan medis pun terapi air
seni atau urine ini masih mengundang pro dan kontra.
Namun, apa pun khasiat yang bisa ditemukan
di dalam air kencing ini, bagi umat Islam tak ada alasan darurat untuk
meminumnya selama masih ada obat lainnya yang bisa digunakan. Apalagi kalau
meminum air seni dari tubuhnya sendiri ini hanya sekedar untuk mencoba-coba
saja, maka harus dihindarkan oleh kaum muslim. Sebenarnya Majelis Ulama
Indonesia (MUI) telah lama menyoroti masalah pengobatan tradisional dengan air
seni maupun tentang penggunaan plasenta manusia pada obat dan kosmetika. Untuk
memberikan kejelasan kepada masyarakat luas dan menghindari kesalah pahaman,
secara khusus MUI dalam Munas tahun 2000 yang lalu telah membahas masalah
plasenta manusia dan terapi urine ini. Dalam Keputusan Fatwa MUI nomor: 2/Munas
/VI/ MUI/ 2000 ditetapkan bahwa :
1) Yang dimaksud dengan :
a) Penggunaan obat-obatan
adalah mengkonsumsinya sebagai pengobatan, dan bukan menggunakan obat pada
bagian luar tubuh.
b) Penggunaan air seni adalah
meminumnya sebagai obat.
c) Penggunaan kosmetika
adalah memakai alat kosmetika pada bagian luar tubuh dengan tujuan perawatan
tubuh dan kulit, agar tetap atau menjadi baik dan indah.
d) Al-Istihalah adalah
perubahan suatu benda menjadi benda lain yang berbeda dalam semua
sifat-sifatnya dan menimbulkan akibat hukum dari benda najis atau mutanajis
menjadi benda suci dan dari benda yang diharamkan menjadi benda yang dibolehkan
(mubah).
2) Penggunaan obat-obatan
yang mengandung atau berasal dari bagian organ tubuh manusia, hukumnya adalah
haram. Kecuali dalam keadaan darurat dan diduga kuat dapat menyembuhkan menurut
keterangan dokter ahli terpercaya.
3) Penggunaan air seni
manusia hukumnya adalah haram. Kecuali dalam keadaan darurat dan diduga kuat
dapat menyembuhkan menurut keterangan dokter ahli terpercaya.
4) Penggunaan kosmetika
yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia hukumnya adalah haram.
Kecuali setelah masuk ke dalam proses Istihalah.
5) Menghimbau kepada semua
pihak agar sedapat mungkin tidak memproduksi dan menggunakan obat-obatan atau
kosmetika yang mengandung unsur bagian organ manusia atau berobat dengan air
seni manusia.
Dengan adanya fatwa MUI tersebut, maka
jelaslah bahwa pemakaian air kencing manusia dan plasenta manusia ini bila
tidak dalam status darurat, maka hukumnya adalah haram bagi umat Islam. Apalagi
bila masih ada obat-obat lain yang masih bisa digunakan, maka penggunaan air
kencing maupun plasenta manusia sebagai obat, tidak ada dasar kedaruratannya.
Kalaupun memang darurat, maka ukuran kedaruratannya ini tidak bisa hanya
berdasarkan perasaan seseorang belaka, tetapi harus berdasarkan pertimbangan
obyektif dari beberapa orang ahli kesehatan yang berkompeten,
sekurang-kurangnya dari 3 (tiga) orang ahli.
Jadi, kondisi darurat ini tidak bisa hanya berdasarkan kepada pertimbangan satu orang ahli saja. Adapun ukuran darurat ini menurut pakar hukum Syariah adalah ancaman nyawa atau kematian. Artinya bila menurut pertimbangan dari minimal 3 orang dokter ahli, misalnya dinyatakan bahwa seorang pasien akan berisiko meninggal dunia bila tidak segera meminum air kencingnya atau obat berplasenta, sementara tidak ada satu pun obat lainnya yang bisa digunakan, maka status air kemih atau plasenta ini akan menjadi halal bagi orang tersebut pada saat itu.
Namun bila ternyata masih ada obat lainnya yang bisa digunakan, maka sifat kedaruratan air seni atau obat berplasenta ini menjadi batal atau tidak syah secara hukum Syariah alias haram. Bagi kaum muslim, sudah seharusnya saat ini untuk berhati-hati dalam membeli produk-produk yang kemungkinan mengandung plasenta manusia, minimal dengan membaca komposisi bahan-bahan yang tertulis di dalam kemasannya. Tentunya hal ini akan menambah kewaspadaan agar tidak terjebak oleh produk yang haram untuk dikonsumsi.
Menurut seorang pakar farmasi yang juga staf ahli di LPPOM-MUI, sekarang ini di pasaran ada beberapa obat pil atau kapsul merk tertentu yang bahan aktifnya terbuat dari plasenta manusia. Di antaranya adalah obat perangsang atau pelancar air susu ibu (ASI). Penggunaan obat ini yaitu untuk menstimulasi aktifitas kelenjar air susu ibu, agar setelah melahirkan produksi ASI-nya meningkat. Namun perlu juga diketahui bahwa masih ada obat jenis lain yang khasiatnya serupa tapi tidak mengandung plasenta manusia.
Sesungguhnya obat-obatan yang dijual bebas maupun obat resep dokter itu banyak sekali jenis dan variasinya. Dengan demikian maka banyak sekali alternatif yang bisa dipilih oleh masyarakat atau oleh dokter dalam menuliskan resepnya. Oleh karena itu sekarang ini tidak ada alasan darurat bagi umat Islam untuk meminum air kencingnya sendiri maupun menggunakan bahan yang mengandung plasenta manusia dengan dalih untuk pengobatan.
Jadi, kondisi darurat ini tidak bisa hanya berdasarkan kepada pertimbangan satu orang ahli saja. Adapun ukuran darurat ini menurut pakar hukum Syariah adalah ancaman nyawa atau kematian. Artinya bila menurut pertimbangan dari minimal 3 orang dokter ahli, misalnya dinyatakan bahwa seorang pasien akan berisiko meninggal dunia bila tidak segera meminum air kencingnya atau obat berplasenta, sementara tidak ada satu pun obat lainnya yang bisa digunakan, maka status air kemih atau plasenta ini akan menjadi halal bagi orang tersebut pada saat itu.
Namun bila ternyata masih ada obat lainnya yang bisa digunakan, maka sifat kedaruratan air seni atau obat berplasenta ini menjadi batal atau tidak syah secara hukum Syariah alias haram. Bagi kaum muslim, sudah seharusnya saat ini untuk berhati-hati dalam membeli produk-produk yang kemungkinan mengandung plasenta manusia, minimal dengan membaca komposisi bahan-bahan yang tertulis di dalam kemasannya. Tentunya hal ini akan menambah kewaspadaan agar tidak terjebak oleh produk yang haram untuk dikonsumsi.
Menurut seorang pakar farmasi yang juga staf ahli di LPPOM-MUI, sekarang ini di pasaran ada beberapa obat pil atau kapsul merk tertentu yang bahan aktifnya terbuat dari plasenta manusia. Di antaranya adalah obat perangsang atau pelancar air susu ibu (ASI). Penggunaan obat ini yaitu untuk menstimulasi aktifitas kelenjar air susu ibu, agar setelah melahirkan produksi ASI-nya meningkat. Namun perlu juga diketahui bahwa masih ada obat jenis lain yang khasiatnya serupa tapi tidak mengandung plasenta manusia.
Sesungguhnya obat-obatan yang dijual bebas maupun obat resep dokter itu banyak sekali jenis dan variasinya. Dengan demikian maka banyak sekali alternatif yang bisa dipilih oleh masyarakat atau oleh dokter dalam menuliskan resepnya. Oleh karena itu sekarang ini tidak ada alasan darurat bagi umat Islam untuk meminum air kencingnya sendiri maupun menggunakan bahan yang mengandung plasenta manusia dengan dalih untuk pengobatan.
Obat Berlabel Halal
Dengan semakin banyaknya variasi dan jenis
obat, maka obat-obatan yang berasal dari bahan yang haram atau memabukkan
(kecuali obat bius), sudah seharusnya ditinggalkan oleh umat Islam. Selama
masih ada alternatif obat lainnya yang halal, maka tidak ada alasan darurat
bagi pemakaian obat-obatan yang mengandung bahan haram. Berhubung banyaknya
obat-obatan yang diragukan dan tidak dijamin kehalalannya, maka sekarang sudah
saatnya Departemen Agama, Departemen Kesehatan RI dan MUI membahas masalah
status halal bagi obat-obatan. Apalagi sekarang ini populasi berbagai jenis
obat cukup banyak seiring dengan semakin majunya bidang farmasi dan hampir
setiap tahun selalu hadir berbagai merk obat-obatan yang baru.
Terlebih lagi karena obat-obatan itu
umumnya adalah produk dari luar negeri yang belum dijaminan kehalalannya, maka
perlu sekali adanya perlindungan bagi kalangan konsumen umat Islam agar tidak
terjebak mengkonsumsi produk yang haram. Kalaulah produk makanan dan minuman
bisa diberikan label halal, mengapa produk obat-obatan yang diminum atau
ditelan tidak diberi sertifikat halal? Padahal pada hakekatnya obat itu adalah
makanan dan makanan pun adalah obat. Obat dan makanan adalah dua hal yang tidak
bisa dipisah-pisahkan.
Oleh karena itu kepastian dan
jaminan halalnya produk pangan khususnya obat-obatan di Indonesia yang
mayoritas muslim ini, sudah selayaknya diprioritaskan oleh produsen dan diatur
oleh pemerintah. Penulis sebagai muslim sekaligus sebagai tenaga medis, secara
pribadi sangat mengharapkan sekali dan menantikan hadirnya obat-obatan yang
bersertifikat halal atau ada jaminan kehalalannya. Bila hal ini terealisasi
maka tidak akan ada lagi keraguan ketika menuliskan resep obat apapun. Semoga
saja sertifikasi halal bagi obat-obatan, khususnya jenis obat yang diminum atau
ditelan, baik obat resep dokter maupun obat bebas, akan menjadi kenyataan di
kelak kemudian hari. Rasulullah Saw bersabda : "Setiap daging (jaringan
tubuh) yang tumbuh dari makanan haram, maka api nerakalah baginya." (HR
At-Tirmidzi) Sumber : Republika