Tahun baru masehi pada
zaman kita ini dirayakan dengan besar-besaran. Bahkan difasilitasi oleh
Pemerintah yang dibalut dengan pesta rakyat (Night
Festival). Beragam aliran musik mulai dari pop, rock, dan dangdut menggaung
di setiap sudut kota dan di tengah-tengah pusat kota, suara terompet dan
tontonan kembang api hampir menghiasi seluruh penjuru dunia di barat dan di
timurnya. Tidak berbeda negara yang mayoritas penduduknya kafir ataupun muslim.
Padahal, perayaan tersebut identik dengan hari besar orang Nasrani.
Banyak keyakinan batil
yang ada pada malam tahun baru. Di antaranya, siapa yang meneguk segelas anggur
terakhir dari botol setelah tengah malam akan mendapatkan keberuntungan. Jika
dia seorang bujangan, maka dia akan menjadi orang pertama menemukan jodoh dari
antara rekan-rekannya yang ada di malam itu. Keyakinan lainnya, di antara
bentuk kemalangan adalah masuk rumah pada malam tahun tanpa membawa hadiah,
mencuci baju dan peralatan makan pada hari itu adalah tanda kesialan,
membiarkan api menyala sepanjang malam tahun baru akan mendatangkan banyak
keberuntungan, dan bentuk-bentuk khurafat lainnya.
Sesungguhnya
keyakinan-keyakinan batil tersebut diadopsi dari keyakinan batil Nasrani. Yang
hakikatnya, mengadopsi dan meniru budaya batil ini adalah sebuah keharaman.
Karena siapa yang bertasyabbuh (menyerupai) kepada satu kaum, maka dia bagian
dari mereka.
Haramnya Bertasyabuh Kepada Orang Kafir
Secara ringkas,
bertasyabbuh di sini maknanya adalah usaha seseorang untuk menyerupai orang
lain yang ingin dia sama dengannya, baik dalam penampilan, karakteristik dan
atribut.
Di antara perkara
fundamental dari agama kita adalah memberikan kecintaan kepada Islam dan
pemeluknya, berbara’ (membenci dan berlepas diri) dari kekufuran dan para
ahlinya. Dan tanda bara’ yang paling nampak dengan berbedanya seorang muslim
dari orang kafir, bangga dengan agamanya dan merasa terhormat dengan Islamnya,
seberapapun hebat kekuatan orang kafir dan kemajuan peradaban mereka.
. . . tanda bara’ yang
paling nampak dengan berbedanya seorang muslim dari orang kafir, bangga dengan
agamanya dan merasa terhormat dengan Islamnya, seberapapun hebat kekuatan orang
kafir dan kemajuan peradaban mereka.
Walaupun kondisi orang muslim lemah, terbelakang, dan terpecah-pecah,
sedangkan kekuatan kafir sangat hebat, tetap kaum muslimin tidak boleh
menjadikannya sebagai dalih untuk membebek kepada kaum kuffar dan justifikasi
untuk menyerupai mereka sebagaimana yang diserukan kaum munafikin dan para penjajah.
Semua itu dikarenakan teks-teks syar’i yang mengharamkan tasyabbuh (menyerupai)
dengan orang kafir dan larangan membebek kepada mereka tidak membedakan antara
kondisi lemah dan kuat. Dan juga karena seorang muslim -dengan segenap
kemampuannya- harus merasa mulia dengan agamanya dan terhormat dengan
ke-Islamnya, sehingga pun saat mereka lemah dan terbelakang.
. . . kondisi orang muslim
lemah, terbelakang, dan terpecah-pecah, tetap tidak boleh dijadikan sebagai
dalih untuk membebek kepada kaum kuffar dan justifikasi untuk menyerupai mereka
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyeru agar seorang muslim
bangga dan terhormat dengan agamanya. Dia menggolongkannya sebagai perkataan
terbaik dan kehormatan yang termulia dalam firmannya,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَا
إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحاً وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru
kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata: "Sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang berserah diri?".” (QS. Fushilat: 33)
Karena sangat urgennya masalah ini, yaitu agar seorang muslim berbeda
dengan orang kafir, Allah memerintahkan kaum muslimin agar berdoa kepada-Nya
minimal 17 kali dalam sehari semalam agar menjauhkan dari jalan hidup orang
kafir dan menunjukinya kepada jalan lurus.
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا
الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6-7)
Banyak sekali nash Al-Qur’an dan Sunnah yang melarang bertasyabbuh dengan
mereka dan menjelaskan bahwa mereka dalam kesesatan, maka siapa yang mengikuti
mereka berarti mengikuti mereka dalam kesesatan.
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ
الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiyah:
18)
“Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang
pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara
bagimu terhadap (siksa) Allah.” (QS. Al-Ra’du: 37)
وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ
وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.” (QS. Ali
Imran: 105)
Allah Ta’ala menyeru kaum mukminin agar khusyu’ ketika berdzikir kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala dan membaca ayat-ayat-Nya, lalu Dia
berfirman,
“Dan janganlah mereka seperti
orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian
berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan
kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Hadid:
16)
Tidak diragukan lagi, menyerupai mereka termasuk tanda paling jelas adanya
kecintaan dan kasih sayang terhadap mereka. Ini bertentangan dengan sikap
bara’ah (membenci dan berlepas diri) dari kekafiran dan pelakunya. Padahal
Allah telah melarang kaum mukminin mencintai, loyal dan mendukung mereka.
Sedangkan loyal dan mendukung mereka adalah sebab menjadi bagian dari golongan
mereka, -semoga Allah menyelamatkan kita darinya-.
Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin
(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa
di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka." (QS. Al-Baqarah: 51)
Menyerupai orang kafir
termasuk tanda paling jelas adanya kecintaan dan kasih sayang terhadap mereka.
Ini bertentangan dengan sikap bara’ah (membenci dan berlepas diri) dari
kekafiran dan pelakunya.
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah
dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau
saudara-saudara atau pun keluarga mereka." (QS. Al-Mujadilah: 22)
Ibnu Taimiyah berkata, “Menyerupai (mereka) akan menunbuhkan kasih sayang,
kecintaan, dan pembelaan dalam batin. Sebagaimana kecintaan dalam batin akan
melahirkan musyabahah (ingin menyerupai) secara zahir.” Beliau berkata lagi
dalam menjelaskan ayat di atas, “Maka Dia Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan,
tidak akan didapati seorang mukmin mencintai orang kafir. Maka siapa yang
mencintai orang kafir, dia bukan seorang mukmin. Dan penyerupaan zahir akan
menumbuhkan kecintaan, karenanya diharamkan.”
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR.
Abu Dawud, Ahmad dan dishahihkan Ibnu Hibban. Ibnu Taimiyah menyebutkannya
dalam kitabnya Al-Iqtidha’ dan Fatawanya. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam
Shahih al-Jami’ no. 2831 dan 6149)
Syaikhul Islam berkata, “Hadits ini –yang paling ringan- menuntut
pengharaman tasyabbuh (menyerupai) mereka, walaupun zahirnya mengafirkan orang
yang menyerupai mereka seperti dalam firman Allah Ta’ala, “Siapa di antara kamu
yang berloyal kepada mereka, maka sungguh ia bagian dari mereka.” (QS.
Al-Maidah: 51).” (Al-Iqtidha’: 1/237)
Imam al-Shan’ani rahimahullaah berkata, “Apabila
menyerupai orang kafir dalam berpakaian dan meyakini supaya seperti mereka
dengan pakaian tersebut, ia telah kafir. Jika tidak meyakini (seperti itu),
terjadi khilaf di antara fuqaha’ di dalamnya: Di antara mereka ada yang berkata
menjadi kafir, sesuai dengan zahir hadits; Dan di antara yang lain mereka
berkata, tidak kafir tapi harus diberi sanksi peringatan.” (Lihat: Subulus
salam tentang syarah hadits tesebut).
Ibnu Taimiyah rahimahullaah menyebutkan, bahwa menyerupai
orang-orang kafir merupakan salah satu sebab utama hilangnya (asingnya syi’ar)
agama dan syariat Allah, dan munculnya kekafiran dan kemaksiatan. Sebagaimana
melestarikan sunnah dan syariat para nabi menjadi pokok utama setiap kebaikan.
(Lihat: Al-Iqtidha’: 1/314)
1.
Bentuk Menyerupai Orang Kafir Dalam Hari Besar Mereka
Orang-orang kafir
–dengan berbagai macam agama dan sektenya- memiliki hari raya yang beraneka
ragam. Di antanya ada bersifat keagamaan yang menjadi pondasi agama mereka atau
hari raya yang sengaja mereka ciptakan sendiri sebagai bagian dari agama
mereka. Namun kebanyakannya berasal dari tradisi dan momentum yang sengaja
dibuat hari besar untuk memperingatinya. Misalnya hari besar Nasional dan
semisalnya. Lebih jauhnya ada beberapa contohnya sebagai berikut:
1.
Hari untuk beribadah kepada tuhannya, seperti hari
raya wafat Jesus Kristus, paskah, Misa, Natal, Tahun Baru Masehi, dan
semisalnya. Seorang muslim terkategori menyerupai mereka dalam dua kondisi:
Pertama, Ikut serta dalam hari raya tersebut.
Walaupun perayaan ini diselenggarakan kelompok minoritas non-muslim di negeri
kaum muslimin, lalu sebagian kaum muslimin ikut serta di dalamnya sebagaimana
yang pernah terjadi pada masa Ibnu Taimiyah dan Imam Dzahabi. Realitas semacam
ini tersebar di negeri-negeri kaum muslimin. Lebih buruk lagi, ada sebagian
kaum muslimin yang bepergian ke negeri kafir untuk menghadiri perayaan tersebut
dan ikut berpartisipasi di dalamnya, baik karena menuruti hawa nafsunya atau
untuk memenuhi undangan orang kafir sebagaimana yang dialami kaum muslimin yang
hidup di negeri kafir, para pejabat pemerintahan, atau para bisnismen yang
mendapat undangan rekan bisnisnya untuk menandatangi kontrak bisnis. Semua ini
haram hukumnya dan ditakutkan menyebabkan kekufuran berdasarkan hadits, “Barangsiapa
menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Pastinya,
orang yang melakukan itu sadar bahwa itu merupakan bagian dari syi’ar agama
mereka.
Kedua, Mengadopsi perayaan orang kafir ke
negeri kaum muslimin. Orang yang menghadiri perayaan orang-orang kafir di
negara mereka, lalu dengan kajahilan dan lemahnya iman, ia kagum dengan
perayaan tersebut. kemudian dia membawa perayaan tersebut ke negara-negara
muslim sebagaimana perayaan tahun baru Masehi. Kondisi ini lebih buruk dari
yang pertama, karena dia tidak hanya ikut merayakan syi’ar agama orang kafir di
Negara mereka, tapi malah membawanya ke negara-negara muslim.
. . .perayaan tahun baru Masehi adalah
tradisi dan syi’ar agama orang kafir di Negara mereka, namun telah dibawa dan
dilestarikan di negara-negara muslim...
2.
Hari besar yang awanya menjadi syi’ar (simbol)
orang-orang kafir, lalu dengan berjalannya waktu berubah menjadi tradisi dan
perayaan global, seperti olimpiade oleh bangsa Yunani kuno yang saat ini menjadi
ajang olah raga Internasional yang diikuti oleh semua Negara yang tedaftar
dalam Komite Olimpiade Internasional (IOC). Ikut serta di dalamnya ada dua
bentuk:
Pertama, menghadiri upacara pembukaan dan
karnavalnya di negeri kafir seperti yang banyak di lakukan negara-negara muslim
yang mengirimkan atlit-atlitnya untuk mengikuti berbagai ajang olah raga yang
diadakan.
Kedua, membawa perayaan ini ke negera-negara
muslim, seperti sebagian negeri muslim meminta menjadi tuan rumah dan
penyelenggara Olimpiade ini.
Keduanya tidak boleh diadakan dan
diselenggarakanaa di Negara-negara muslim dengan beberapa alasan :
a. Olimpiade ini pada
awalnya merupakan hari besar kaum pagan Yunani kuno dan merupakan hari paling
bersejaran bagi mereka, lalu diwarisi oleh kaum Romawi dan dilestarikan kaum
Nasrani.
b. Ajang tersebut memiliki
nama yang maknanya sangat dikenal oleh bangsa Yunani sebagai hari ritus mereka.
Keberadaannya yang
menjadi ajang oleh raga tidak lantas merubah statusnya sebagai hari raya kaum
pagan berdasarkan nama dan asal usulnya. Dasar haramnya perayaan tersebut
adalah hadits Tsabit bin Dhahak radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
“Ada seseorang bernazar di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk
menyembelih unta di Bawwanah –yaitu nama suatu tempat-, ia lalu mendatangi Nabi shallallahu
'alaihi wasallam dan berkata: “Aku bernazar untuk menyembelih unta di
Bawwanah.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Apakah di sana ada berhala jahiliyah yang disembah?” Mereka berkata: “Tidak.”
Beliau bertanya lagi: “Apakah di sana dilakukan perayaan hari raya mereka?”
Mereka berkata: “Tidak.” Beliau bersabda: “Tunaikanlah nazarmu, sesungguhnya
tidak boleh menunaikan nazar yang berupa maksiat kepada Allah dan yang tidak
mampu dilakukan oleh anak Adam.” (HR. Abu Dawud dan sanadnya sesuai syarat
as-Shahihain)
Ditimbang dengan hadits
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di atas, bahwa asal dari
olah raga priodik ini ada hari raya orang kafir. Dan ini diharamkan sebagaimana
diharamkannya menyembelih unta untuk Allah di tempat yang dijadikan sebagai
perayaan hari raya orang kafir. Dan perbedaan waktu dan tempat tidak mempengaruhi
dari subtansi alasan diharamkannya penyembelihan tersebut.
Ibnu Taimiyah rahimahullaah menjelaskan,
hadits ini mengandung makna bahwa tempat yang digunakan untuk perayaan hari
besar mereka tidak boleh digunakan untuk menyembelih walaupun itu bentuknya
nazar. Sebagaimana tempat tersebut sebagai tempat menaruh berhala mereka. Bahwa
nazar semacam itu menunjukkan pengagungan kepada tempat tersebut yang
diagungkan mereka untuk merayakan hari besarnya atau sebagai bentuk ikut serta
(partisipasi) dalam perayaan hari besar tersebut. Atau juga untuk menghidupkan
syi’ar mereka di sana. Apabila mengistimewakan satu tempat yang menjadi
perayaan agama mereka saja dilarang, bagaimana dengan perayaan itu sendiri?!
(Diringkas dari al-Iqtidha’: 1/344)
Sedangkan olimpiade ini
bukan hanya waktu atau tempatnya, tapi hari raya itu sendiri berdasarkan asal
penamaanya dan aktifitas yang ada di dalamnya, seperti menyalakan lampu
olimpiade. Padahal itu sebagai lambang hari besar mereka. Dan ajang olahraga
ini juga dilaksanakan pas waktu perayaan hari besar olimpiade, yang
dilaksanakan empat tahun sekali.
3.
Menyerupai Orang Kafir Dalam Merayakan Hari Besar
Islam
Bentuk bertasyabbuh dengan orang kafir
bisa terjadi juga dalam perayaan hari raya Islam, Idul Fitri dan Adha. Yaitu
merayakan hari raya Islam dengan cara-cara yang bisa digunakan kaum kuffar
dalam merayakan hari besar mereka.
Bahwa sesungguhnya, hari raya kaum
muslimin dihiasi dengan syukur kepada Allah Ta’ala, mengagungkan, memuji dan
mentaati-Nya. Bergembira menikmati karunia nikmat dari Allah Ta’ala tanpa
menggunakannya untuk bermaksiat. Ini berbeda dengan hari raya kaum kuffar,
dirayakan untuk mengagungkan syi’ar batil dan berhala-berhala mereka yang
disembah selain Allah Ta’ala. Dalam perayaannya, mereka tenggelam dalam syahwat
yang haram.
Namun sangat disayangkan banyak kaum
muslimin yang di penjuru dunia yang menyerupai orang kafir dalam kemaksiatan
itu. Mereka merubah nuansa Idul Fitri dan Idul Adha sebagai musim ketaatan dan
syukur menjadi musim bermaksiat dan kufur nikmat, yaitu dengan mengisi
malam-malamnya dengan musik-musik, nyanyir-nyanyi, mabuk-mabukan, pesta yang
bercampur laki-laki dan perempuan dan bentuk pelanggaran-pelanggaran lainnya.
Semua ini disebabkan mereka meniru cara orang kafir dalam merayakan hari besar
mereka yang diisi dengan menuruti syahwat dan maksiat.
Semoga Allah membimbing kita kepada
kondisi yang lebih diridhai-Nya, tidak menyimpang dari aturan Islam dan tidak
bertasyabbuh dengan kaum kafir dalam acara-acara mereka.
0 comments:
Posting Komentar