KEAGUNGAN AKHLAK DAN BUDI PEKERTI
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا (رواه الترمذي وأبو داود وأحمد)
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, “Kaum mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik budi pekertinya (diantara mereka).” (HR. al-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad)
Menurut Imam al-Tirmidzi, hadits ini diriwayatkan pula dari Aisyah dan Ibnu Abbas dengan kualitas hasan shahih. Apabila ditilik secara tekstual, hadits ini mengungkapkan hakikat manusia yang sebenarnya. Orang utama dan mulia bukanlah orang yang hanya memiliki harta kekayaan berlimpah dan jabatan yang prestisius. Tetapi, orang mulia lagi sempurna adalah orang yang memiliki akhlak dan budi pekerti yang luhur. Karenanya, Nabi Muhammad saw diutus ke muka bumi ini tiada lain untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Ibarat bangunan yang terdiri dari tumpukan batu bata, beliau adalah batu terakhirnya yang diletakkan untuk menjadikan bangunan tersebut sempurna.
Jadi, sebelum Nabi saw diutus, sebenarnya tatanan moral manusia sudah ditata oleh para Nabi dan Rasul terdahulu. Akan tetapi belum sampai sempurna. Maka, Nabi kitalah, sebagai Nabi terakhir, yang bertugas untuk menyempurnakannya. Oleh karena itu, umat beliau, yaitu kaum mukminin, yang memiliki akhlak ini, disebut sebagai manusia yang sempurna citranya. Semakin mulia akhlaknya, semakin sempurna pula citranya di sisi Allah. Keutamaan manusia beriman yang berakhlak mulia ini disebutkan dalam hadits berikut ini:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا قَالَ فَأَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ اْلأكْيَاسُ (رواه ابن ماجه)
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, “Ketika aku berada bersama Rasulullah saw, datanglah seorang pria Anshar. Ia mengucapkan salam kepada Nabi saw, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, kaum mukmin manakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling baik budi pekertinya.” Ia bertanya lagi, “Kaum mukmin manakah yang paling cerdas?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik persiapannya untuk menghadapi kematian. Merekalah orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah)
Pengertian Akhlak
Secara etimologi, term Akhlaq berarti perangai, adat istiadat, tabiat, kejadian, kebiasaan, atau sistim berperilaku. Karena itu, akhlak dalam pengertian dasarnya terdiri dari dua bagian, yaitu akhlak yang terpuji atau al-akhlaq al-mahmudah dan akhlak yang tercela atau al-akhlaq al-madzmumah. Meski pengertian akhlak pada dasarnya terdiri dari dua bagian, yaitu baik dan buruk, namun berdasarkan pengertian sosiologis di Indonesia, kata akhlak menunjukkan konotasi baik. Karena itu, apabila dikatakan bahwa orang itu berakhlak, maka berarti ia memiliki akhlak yang baik.
Kata akhlaq apabila dikaitkan dengan Islam atau al-akhlaq al-islamiyah, maka berarti perangai atau sistim berperilaku yang baik dan terpuji menurut kaidah Islam. Akhlak seperti ini disebut juga dengan al-akhlaq al-karimah atau akhlak yang mulia. Oleh karena itu, al-Akhlaq al-Islamiyah adalah perangai dan sistim berperilaku yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Rasulullah saw sebagai suri tauladan yang harus diikuti kaum muslimin memiliki akhlak yang agung dan luhur. Dengan keluhuran akhlak itulah beliau berdakwah, mengajak manusia menuju jalan yang diridhai oleh Allah swt. Dengan akhlak yang mulia pula, dakwah beliau berhasil dengan gilang gemilang. Hanya dalam kurun waktu kurang dari 23 tahun, beliau berhasil merombak tatanan masyarakat yang dungu dan bodoh menjadi masyarakat yang maju dan berperadaban tinggi. Dalam waktu teramat singkat itu, beliau mengangkat kehidupan suatu bangsa yang tidak dikenal sejarah menjadi umat yang menentukan sejarah dunia. Mengenai keluhuran akhlak Nabi, Allah swt berfirman,
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (القلم، 4)
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam, 68: 4).
Di antara akhlak Nabi yang terpuji ialah sikap pemaaf dan kasih sayang terhadap sesama. Meskipun beliau sering dicemooh, dihina, difitnah, dan disakiti orang lain, beliau tetap tabah dan menerima perlakuan mereka dengan lapang dada. Bahkan beliau membalas perlakuan kasar mereka dengan lemah lembut dan kasih sayang serta mendoakan mereka agar segera menerima petunjuk dari Allah swt. Hal ini sebagaimana dilansir dalam ayat suci al-Qur’an,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (آل عمران، 159)
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran, 3:159)
Selain bersikap pemaaf, Nabi saw juga dikenal sebagai orang yang sangat menyayangi sesamanya. Beliau selalu mengasihi fakir miskin, anak-anak yatim, dan wanita-wanita jompo. Dalam berbagai kegiatan dakwahnya, beliau memulai kebaikan dari dirinya sendiri dan keluarganya. Ia senantiasa mengusahakan kebaikan dan memelihara umatnya dari kehancuran dan kenistaan. Dalam hal ini, Allah swt berfirman,
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (التوبة، 128)
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. al-Taubah, 9:128)
Dalam al-Qur’an Surat al-A’raf ayat 199 disebutkan bahwa sekurang-kurangnya ada tiga macam sikap atau budi pekerti luhur, yaitu pemaaf, memerintahkan kebaikan, dan berpaling dari orang-orang jahil.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (الأعراف:199)
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma`ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. al-A’raf, 7: 199).
Banyak riwayat dalam sejarah Islam yang menjelaskan sikap pemaaf Nabi terhadap umatnya. Beliau dengan ikhlas memberi maaf terhadap musuh-musuhnya yang mau bertobat dan mengakui kesalahan yang dilakukannya, meskipun pada awalnya mereka membuat hidup beliau menderita dan teraniaya.
Pada awal perkembangan Islam di Makkah, ada dua orang bersaudara kakak beradik bernama Ka’ab bin Zuhair dan Bujair bin Zuhair. Bujair telah masuk Islam terlebih dahulu, ia berjuang bersama Nabi saw dalam membela kebenaran dan ikut berhijrah ke Madinah. Sedangkan saudaranya, Ka’ab, termasuk kelompok radikal yang menolak agama Islam, ia bersama komplotannya dengan gencar melakukan intimidasi terhadap kaum muslimin ketika itu. Sedemikian kerasnya permusuhan Ka’ab terhadap umat Islam, sehingga setelah Bujair adiknya berhijrah ke Madinah, ia masih tetap mengecam umat Islam dengan surat-suratnya yang dikirimkan kepada saudaranya tersebut.
Melihat sikap Ka’ab yang membahayakan eksistensi umat Islam, akhirnya Nabi saw memasukkan namanya ke dalam daftar hitam, yaitu golongan penghianat yang senantiasa berbuat kerusakan dan memusuhi kaum muslimin secara keseluruhan. Mengetahui hal itu, Bujair segera mengirimkan surat kepada saudaranya tentang pencatuman namanya pada daftar hitam tersebut. Dalam suratnya, ia juga menjelaskan mengenai sikap pemaaf Nabi dan akhlaknya yang luhur terhadap sesamanya. Akhlak beliau tersebut sekaligus menjadi suri tauladan bagi umatnya. Bujair juga menceritakan dengan lengkap kehidupan kaum muslimin di Madinah. Mereka berada dalam ketenangan, kedamaian, dan senantiasa dibimbing oleh Allah swt dengan perantaraan Rasul-Nya yang mulia.
Setelah Ka’ab menerima surat itu di Makkah lalu memperhatikan dengan seksama isinya, tiba-tiba ada dorongan kebenaran dengan kuat yang mengetuk kalbunya, ia segera bertobat dari kesalahan masa lalunya. Ia berniat untuk pergi meninggalkan Makkah menuju Madinah sesegera mungkin demi menemui Nabi saw dan menyatakan diri untuk bergabung dengan barisan kaum muslimin di sana.
Setibanya di Madinah, Ka’ab bin Zuhair segera menemui Nabi saw di masjid dengan diantar oleh Ali bin Abi Thalib, seorang sahabat setia sekaligus menantu Nabi saw. Sampai di masjid, Ka’ab segera menyatakan diri untuk masuk agama Islam. Nabi saw pun menerima kehadirannya dengan tulus, bahagia, dan penuh bersyukur. Masuk islamnya Ka’ab sekaligus dicoretnya nama Ka’ab dari daftar hitam. Dengan serta merta, Nabi saw dan para sahabatnya mengampuni semua kesalahan Ka’ab di masa lalu, tanpa menyisakan perasaan dendam sedikitpun di dada mereka.
Begitu pula ketika Nabi saw beserta para sahabatnya memasuki Kota Makkah pada tahun ke-8 H. Saat itu, beliau datang sebagai pemenang yang menaklukkan semua penduduk Makkah. Dengan penuh keikhlasan, beliau memaafkan semua kesalahan penduduk Makkah di masa lalu. Nama-nama mereka yang tertulis dalam daftar hitam, pada hari itu semuanya dimaafkan, termasuk Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan, yang pernah mencabik-cabik dada Pamandanya Hamzah di perang Uhud dan mengunyah hatinya. Nabi saw dan para sahabatnya datang ke Kota Makkah, kota kelahirannya dengan membawa pengampunan agung, tidak ada setetes pun darah balas dendam yang tumpah di sana. Sikap pemaaf Nabi dan para sahabatnya inilah yang harus dijadikan suri tauladan bagi setiap orang mukmin di mana saja mereka berada.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (الأحزاب، 21)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. al-Ahzab, 33: 21)
***
0 comments:
Posting Komentar