:::: MENU ::::

Informasi Bisnis dan Umum



Tanda-tanda Kemunafikan

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ (متفق عليه)
Artinya : Diceritakan dari Abdullah bin ‘Amr r.a. menceritakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Empat perkara, bila terdapat pada diri seseorang, maka ia menjadi seorang munafik sejati dan bila satu dari empat perkara itu terdapat padanya, maka satu sifat dari kemunafikan itu itu tetap melekat padanya, sampai ia meninggalkannya. Yaitu (1) apabila dipercaya ia meninggalkannya, (2) apabila berkata dusta, (3) apabila mengadakan perjanjian tidak menepati dan (4) apabila bertengkar curang. (HR, al-Bukhari dan Muslim).

Hadits di atas berkualitas shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (No.22), Imam Muslim (No.88), Imam al-Tirmizi (no. 2556), Abu Dawud (No.468), Ahmad (No.6479, 6568, 6584), dari Sahabat Abdullah bin ‘Amr (w. 63 H).

Uraian Kata
Munafik berakar kata dari kata al-nifâq yang artinya ketidaksesuaian antara lahir dan batin. Orang yang yang mempunyai sifat yang tidak selaras antara karya dan karsanya. Apa yang telah diperbuatnya bukan merupakan manifestasi dari suara hatinya. (Fatchurrahman, 143). Lafadz ghadara, yang dalam riwayat lain menggunakan lafadz akhlafa, artinya melanggar janji atau berkhianat. Fajara artinya menyeleweng atau menyimpang dari kebenaran. (al-Munawwir, 1110).

Tanda-tanda Munafik
Dalam Hadis di atas Rasulullah Saw menjelaskan tanda-tanda kemunafikan tersebut ada empat macam:
(1) berkhianat dalam melaksanakan amanat, (2) berdusta dalam pembicaraan, (3) tidak menepati janji dan (4) curang dalam pertengkaran.


Berkhianat dalam melaksanakan amanat
Perkataan amanah berasal dari kata al-amn yang berarti rasa aman atau percaya. Kata amanah juga menunjuk pada sesuatu yang dipercayakan kepada pihak yang lain. Jadi amanah mengandung makna bahwa sesuatu diserahkan kepada pihak lain karena yakin dan percaya bahwa ditangannya sesuatu yang diserahkan itu akan aman dan terpelihara dengan baik. Pengertian amanat bukan terbatas pada masalah itu saja, melainkan lebih luas lagi. Yakni berkaitan juga dengan menyimpan rahasia orang, menjaga kehormatan orang lain, menjaga dirinya sendiri dan menunaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Allah Swt sendiri menamakan tugas dan syari’at sebagai amanat. Sebagaimana di dalam firman-Nya:
Artinya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.

Dan karena amanat ini, manusia menjadi makhluk yang bertanggungjawab. Ia harus bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakannya yang lahir dari kebebasannya memilih. Seseorang dikatakan berkhianat apabila ia bertindak sesuatu yang diamanatkan kepadanya tanpa suatu alasan yang dapat diterima oleh orang yang memberi amanat. Misalnya;
- mengabaikan pemeliharaan, merubah, dan merusak atau menjual barang-barang yang dititipkan kepadanya tanpa alasan yang jelas.
- Pemimpin yang telah diberi kepercayaan oleh rakyat untuk mengatur dan mengurus kepentingan mereka, meratakan dan membangun masyarakat yang adil dan makmur. Apabila secara langsung dan tidak langsung menyelewengkan amanat tersebut untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau kepentingan golongan, berarti ia telah mengkhiyanati kepercayaan. Pemimpin yang semacam ini, biasanya sama sekali tidak pernah berpikir untuk menyejahterakan umat.

Sifat amanah, seperti halnya sifat adil, merupakan sifat kenabian dan merupakan pangkal moralitas serta keluhuran budi pekerti. Amanah adalah panggilan iman dan merupakan bukti wujudnya keimanan. Melaksanakan kewajiban dengan jujur dan baik juga merupakan salah satu bentuk amanat.
Lalu, jika seorang Muslim menjadi pejabat publik, maka ia akan melaksanakan amanah itu dengan penuh tanggung jawab, tidak korup, dan tidak memanfaatkan jabatannya itu untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Karena, ia sadar betul bahwa jabatan itu merupakan amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat yang memilihnya, dan terlebih lagi di hadapan Allah SWT kelak kemudian hari.
Pengkhianatan terhadap amanah hanyalah akan merusak tatanan kehidupan pribadi maupun sosial kemasyarakatan. Allah SWT berfirman, ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah SWT dan Rasul, dan jangan pula kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.'' (Al-Anfal: 27).
Bersyukurlah bila orang diberi amanah dan tidak berkhianat karena bila berkhianat niscaya termasuk orang-orang yang bergelimang dosa dan akan dicabut amanahnya. Bila dicabut amanahnya termasuk golongan orang-orang yang terkutuk dan sudah tidak punya rasa malu. Berikut Hadits yang menjelaskan hal tersebut di atas.
“Sesungguhnya Allah jika menghendaki membinasakan seseorang hamba, maka Dia mencabut dari orang itu rasa malu. Jika telah tercabut darinya rasa malu, engkau tidak menjumpai orang itu kecuali bergelimang dosa. Jika engkau tidak menjumpai kecuali bergelimang dosa, dicabut (pula) dari dirinya amanah. Apabila telah dicabut darinya amanah, engkau tidak menjumpainya kecuali sebagai orang yang berkhianat dan dikhianati. Jika engkau tidak menjumpainya kecuali dalam keadaan berkhianat dan dikhianati, maka dicabut darinya rahmat (Allah). Apabila telah dicabut darinya rahmat (Allah), engkau tidak menjumpainya kecuali dalam keadaan terkutuk dan terlaknat. Jika engkau tidak menjumpainya kecuali dalam keadaan terkutuk dan terlaknat, maka dicabut darinya ikatan dengan Islam”. (Hadits Riwayat Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar)

Berdusta dalam pembicaraan
Bohong dalam pembicaraan merupakan benih kemunafikan dan sumber pertentangan, menghilangkan kepercayaan dalam masyarakat yang bersangkutan dan tidak jarang bahwa bohong itu mengandung unsur penipuan. Dan seseorang yang suka berdusta akan menunutunnya ke neraka. Rasulullah Saw bersabda
وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Artinya: “Dan sesungguhnya dusta itu menuntun kepada penipuan (curang). Dan penipuan (curang) itu menuntun ke dalam neraka. Dan seseorang itu berdusta sehingga tercatatat di sisi Allah sebagai pendusta. (HR. al-Bukhari)

Tidak menepati janji
Tidak menepati janji itu termasuk dalam bagian dusta. Allah Swt menyebutnya dengan nifâq al-qulûb, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya.
Artinya: “Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, Karena mereka Telah memungkiri terhadap Allah apa yang Telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga Karena mereka selalu berdusta.” (QS. Al-Taubah: 77)

Mengingkari janji dapat menghilangkan kepercayaan seseorang kepadanya, membuang waktu yang telah dijanjikan bersama, merusak rencana kerja dan lebih jauh dari itu akan membuat kerugian besar terhadap orang yang menerima ikatan janji dengannya. Ia akan berubah menjadi dosa besar apabila dimaksud tidak menepati janji itu timbul bersama-sama dengan waktu mengikatkan perjanjian. Adapun bila maksud seseorang untuk menunaikan janji itu, sudah ada di hati sewakutu mengadakan perjanjian, namun oleh karena sesuatu hal tidak dapat dilaksanakan, maka ia tidak berdoasa dan karenanya ia tidak termasuk tergolong munafik lantaran mengingkari janji. Kalau waktu yang dijanjikan telah tiba dan sanggup memenuhinya, tetapi tidak dilaksanakan, ia berdosa karena tidak menepati janji.

Curang dalam pertengkaran
Curang dalam pertengkaran maksudnya tidak mengindahkan peraturan yang benar dan berlaku dalam penyelesaian suatu persengketaan termasuk dalam dosa besar. Karena dapat mengundang bencana yang dahsyat, pengingkaran atas hak lawan sengketanya dan halalnya harta serta darah lawannya.

0 comments:

Posting Komentar