“Sesungguhnya setiap orang di antaramu
dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya empat puluh hari berupa nutfah,
kemudian menjadi segumpal darah, (empat puluh hari kemudian), kemudian menjadi
segumpal daging selama itu pula (40 hari berikutnya). Kemudian diutuslah
kepadanya malaikat, lalu meniupkan ruh kepadanya dan diperintahkan atasnya
menuliskan empat hal; ketentuan rejekinya, ketentuan ajalnya, ketentuan
amalnya, dan ketentuan celaka atau bahagianya …” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Kehamilan adalah
periode yang didambakan oleh seorang istri di dalam berumahtangga (pasca
menikah). Karena proses kehamilan merupakan fase yang harus dilalui untuk
menghadirkan anak di dalam keluarga. Di atas telah disebutkan hadits-nya
tentang proses janin di dalam perut ibu hamil sesuai dengan sabda Rasulullah
Saw.
Hadits tersebut di
atas menjelaskan proses kejadian manusia:
·
40
hari pertama berupa nutfah atau cairan kental,
·
40
hari kedua menjadi ‘alaqah atau segumpal daging,
·
40
hari ketiga menjadi mudhghah atau segumpal daging.
Proses di atas
apabila dihitung berdasarkan bulan sama dengan 4 bulan atau 120 hari. Dan pada
bulan ke-4 seperti itu Allah Swt mengutus malaikat guna meniupkan ruh ke dalam
janin yang terdapat di rahim ibunya. Dan momen ini seringkali diperingati oleh
masyarakat Islam dengan sebutan 4 bulanan.
Beberapa hal yang
menjadi landasan peringatan 4 bulan kehamilan, antara lain :
1. Sebagai
tanda syukur seorang hamba kepada tuhannya, Allah Swt yang telah memberikan
anugerah dengan memberikan amanah berupa seorang buah hati, anak.
2.
Sebagai
pendidikan prenatal (pendidikan sebelum lahir) bagi janin yang mulai hidup atau
mulai diberi ruh, yang kelak bertujuan agar sang buah hati menjadi anak yang
shaleh/shalehah, faham agama, serta menjadi anak yang mencintai dan mengamalkan
alquran.
Niat baik inipun harus disertai dengan cara-cara
peringatan yang baik. Artinya peringatan 4 bulanan diisi dengan pembacaan ayat
suci Alquran serta memanjatkan doa yang baik. Bukan sebaliknya; melakukan
ritual atau peringatan yang jauh dari nilai-nilai keislaman dan berbau syirik semisal
mandi kembang tujuh rupa atau membuat rujak yang ditukar dengan uang dari
genting meskipun untuk tujuan simbolik.
Di saat mengadakan syukuran 4 bulanan, ayat alquran yang
dibaca tidak terikat. Ayat apa saja selama bersumber dari alquran , semuanya
baik untuk dikumandangkan (dibaca). Namun apabila ingin lebih spesifik dalam
pembacaan ayat suci alquran ketika syukuran 4 bulanan; dianjurkan untuk membaca
surat Luqman yang berkisah tentang pendidikan (surat nomor 31) tujuannya tentu
saja mengambil ibrah dari isi ayat surat tersebut.
Khususnya surat 12 hingga 19 yang berkisah tentang seorang ayah yang bernama
Luqman kepada anaknya dengan pendidikan aqidah atau keimanan, pendidikan ibadah,
serta pendidikan akhlak.
Jangan lupa untuk senantiasa memanjatkan doa yang baik
untuk masa depan anak kita. Kita memohon kepada Allah agar ditentukan rezeki
yang halal, luas, berkah, dan mudah dalam meraihnya. Serta agar anak kita
diberikan umur yang berkah; senantiasa dalam ketaatan, dan mampu memberikan
manfaat kepada orang lain, tidak menjadi orang yang pelit baik harta dan ilmu
dan dimatikan dalam keadaan khusnul khatimah.
Hukum Selamatan Tujuh Bulanan Bagi
Wanita Hamil
Apakah ada dasar hukum selamatan
kehamilan, seperti 3 bulanan atau 7 bulanan (bahasa Jawa : Mitoni). Pada acara
tersebut juga disertai dengan pembacaan diba’. Terus terang saya belum pernah
membaca riwayat tentang selamatan seperti di atas pada masa Rasulullah.
Selamatan kehamilan, seperti 3
bulanan atau 7 bulanan, tidak ada dalam ajaran Islam. Itu termasuk perkara baru
dalam agama, dan semua perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah
merupakan kesesatan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Jauhilah semua perkara baru (dalam
agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah
merupakan kesesatan. (HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; Ad Darimi; Ahmad;
dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah).
Kemudian, jika selamatan kehamilan
tersebut disertai dengan keyakinan akan membawa keselamatan dan kebaikan, dan
sebaliknya jika tidak dilakukan akan menyebabkan bencana atau keburukan, maka
keyakinan seperti itu merupakan kemusyrikan. Karena sesungguhnya keselamatan
dan bencana itu hanya di tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Allah
berfirman:
Katakanlah: "Mengapa kamu
menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat
kepadamu dan tidak (pula) memberi manfa'at?". Dan Allah-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Al Maidah:76).
Demikian juga dengan pembacaan diba’
pada saat perayaan tersebut, ataupun lainnya, tidak ada dasarnya dalam ajaran
Islam. Karena pada di zaman Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
para sahabat, diba itu tidak ada. Diba’ yang dimaksudkan ialah Maulid Ad
Daiba’ii, buku yang berisi kisah kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam, dan pujian serta sanjungan kepada Beliau. Banyak pujian tersebut yang
ghuluw (berlebihan, melewati batas). Misalnya seperti perkataan:
Dahi Beliau (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
) seperti fajar, rambut depan Beliau seperti malam, hidung Beliau berbentuk
(huruf) alif, mulut Beliau berbentuk (huruf) mim, alis Beliau berbentuk (huruf)
nun, pendengaran Beliau mendengar suara qolam (pena yang menulis taqdir),
pandangan Beliau menembus tujuh lapisan (langit atau bumi). (Lihat Majmu’atul
Mawalid, hlm. 9, tanpa nama penerbit. Buku ini banyak dijual di toko buku-toko
buku agama).
Kalimat “pendengaran Beliau
mendengar suara qolam (pena yang menulis taqdir)”, jika yang dimaksudkan pada
saat mi’raj saja, memang benar, sebagaimana telah disebutkan di dalam
hadits-hadits tentang mi’raj. Namun jika setiap saat, maka ini merupakan
kalimat yang melewati batas. Padahal nampaknya, demikian inilah yang
dimaksudkan, dengan dalil kalimat berikutnya, yaitu kalimat “pandangan Beliau
menembus tujuh lapisan (langit atau bumi)”. Dan kalimat kedua ini juga pujian
ghuluw (melewati batas). Karena sesungguhnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam tidak mengetahui perkara ghaib. Yang mengetahui perkara ghaib
hanyalah Allah Azza wa Jalla . Allah berfirman:
Katakanlah: "Tidak ada
seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali
Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS An
Naml:65).
‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, istri
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, pernah menerima tuduhan keji pada peristiwa
“haditsul ifk”. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui
kebenaran tuduhan tersebut, sampai kemudian turun pemberitaan dari Allah dalam
surat An Nuur yang membersihkan ‘Aisyah dari tuduhan keji tersebut. Dan buku
Maulid Ad Daiba’ii berisi hadits tentang Nur (cahaya) Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam, yang termasuk hadits palsu.
Dalam peristiwa Bai’atur Ridhwan,
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui hakikat berita
kematian Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu 'anhu , sehingga terjadilah Bai’atur
Ridhwan. Namun ternyata, waktu itu Utsman Radhiyallahu 'anhu masih hidup.
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan RasulNya untuk mengumumkan:
Katakanlah: "Aku tidak
mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula)
aku mengetahui yang ghaib”. (QS Al An’am:50).
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, bagaimana
mungkin seseorang boleh mengatakan “pandangan Beliau menembus tujuh lapisan
(langit atau bumi)”? Kesimpulan yang dapat kita ambil, bahwa selamatan
kehamilan dan pembacaan diba’ termasuk perbuatan maksiat, karena termasuk bid’ah.
perkongsian yg sangat menarik dan bermanfaat sekali.
BalasHapustips hilangkan mabuk hamil
Artikel yang bagus.
BalasHapusJangan lupa kunjungi www.refiza.com
Ada banyak souvenir cantik untuk Aqiqah, pengajian, haji, pernikahan.
Terima kasih.
Hapus