Menjadi Guru adalah profesi terbaik yang ada
di dunia ini, keberadaannya menyebarkan berbagai disiplin ilmu yang dibutuhkan
oleh manusia sebagai bekal mengarungi kehidupan dan sebagai penyelamat dari
murkanya sang pencipta alam semesta. Namun saat ini, keberadaan guru di geser
dengan adanya kesenjangan antara Guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan Guru
Honorer. Entah dimulainya sejak kapan, yang pasti sudah mengakar kuat di
lingkungan lembaga-lembaga sekolah. Menjadi Guru Honorer adalah pejuang yang
keringatnya di lirik sebelah mata oleh sebagian pihak, bahkan sering kali
diremehkan karena pendapatan (gaji) yang tidak seberapa, apalagi dibandingkan
dengan pekerja kantoran, karyawan swasta, pegawai pemerintah, dan pegawai BUMN.
Jika masih lajang, biasanya calon mertua
bertanya “Kerjanya apa?” Ngehonor Pak / Bu di sekolah A, jawab dengan lembut.
Besoknya sang mertua menasihati putrinya, “Nak, jangan menikah sama si A ya!” Kerjanya
aja ngehonor,” Berapa sih gaji guru honorer”, Paling 100-200 ribu per bulan”. Hiks...hiks....hiks....
Tangis sang putri.
Sepenggal kisah nyata di lingkungan
masyarakat perkotaan. Ingatlah para bapak atau ibu.
Guru itu sangat mulia, apa yang diajarkan
kepada anak didiknya akan menjadi ladang pahala selama-lamanya sampai
berjuta-juta tahun ke depan, selama ilmu itu diamalkan oleh anak didiknya.
Guru itu sangat istimewa, keberadaannya
menjadi tolak ukur maju mundurnya sebuah bangsa atau negara.
Guru itu luar biasa, menjadi panutan di
masyarakat, perkataannya menjadi penawar bagi yang sedang gelisah hatinya dan
murkanya menjadi cambuk yang menyakitkan.
Guru itu lah pencetak para pejabat
Pemerintah.
Guru itu penanam pertama yang mengenalkan
pengetahuan umum, agama, sosial, dan ragam bahasa.
Berpuluh-puluh tahun mengabdi di sebuah
lembaga sekolah, tiap tahun berharap diangkat jadi PNS, namun murid yang dulu pernah
diajar sekarang jadi pejabat, enggan atau lupa sama guru tercintanya yang masih
honorer.
0 comments:
Posting Komentar