Buah pisang secara alami tentu sangat halal. Namun
kalau terkena atau diproses dengan sarana teknologi, maka harus ditelaah secara
mendalam. Karena ada kemungkinan menjadi Syhubhat
(meragukan status hukumnya), atau bahkan menjadi haram. Demikian dikemukakan
Kepala Bidang Pembinaan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika
(LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Daerah, Ir Nur Wahid M.Si., dalam
presentasinya tentang “Urgensi Sertifikasi Halal dan Sistim Jaminan Halal
(SJH)”, sekaligus membuka Pelatihan SJH, yang dilangsungkan pada 16-18 Desember
2014, di Sarana Pelatihan LPPOM MUI Global Halal Centre (GHC) Bogor.
Pisang goreng bisa menjadi haram bagi umat Islam,
tambahnya pada pelatihan yang telah menjadi agenda rutin LPPOM MUI ini, kalau
menggunakan minyak goreng yang terkontaminasi dengan bahan babi. Lalu ia memaparkan dengan
rinci. Minyak goreng yang lazim digunakan ibu rumah tangga atau di
warung-restoran, biasanya jernih kuning keemasan, dengan aromanya yang khas,
jauh dari bau tengik minyak mentah. Karena minyak itu telah melalui proses
penjernihan dan penyerap bau yang tak diinginkan, dengan menggunakan alat
penjernih dan penyerap bau dari bahan karbon aktif.
Memang, pada industri makanan dan obat-obatan,
utamanya, bahan karbon aktif dipergunakan sebagai penyaring cairan, menyerap
dan menghilangkan warna, bau dan rasa yang tidak enak. Bahan baku karbon atau
arang aktif dapat berasal dari bahan nabati seperti kayu dan tempurung kelapa
yang diolah menjadi arang. Dan dapat juga berasal dari bahan hewani, terutama
tulang hewan yang diolah menjadi arang.
“Kalau berasal dari tulang hewan, maka bahan karbon
aktif ini harus dicermati dan diteliti dalam proses sertifikasi halal, jangan
sampai menggunakan bahan yang berasal dari tulang babi,” tuturnya wanti-wanti
mengingatkan.
Pemanfaatan tulang babi menjadi karbon aktif,
tambanhnya pula, banyak dilakukan kalangan industri terutama di Eropa. Karena
ketersediaan bahan dari tulang babi ini relatif berlimpah dengan harga yang
murah.
Memanfaatkan Limbah Babi
Mengapa mereka menggunakan bahan karbon aktif itu dari
tulang babi? Sebagai jawabnya, karena secara ekonomis, bahan tulang babi di
sana sangat berlimpah, sebagai limbah atau sampah, produk samping dari rumah
pemotongan hewan (babi) industri daging babi. Di negeri-negeri itu, dari pada
limbah itu dibuang menjadi masalah, tentu lebih baik kalau bisa dimanfaatkan
menjadi bahan yang bernilai ekonomi.
Selain itu, di kawasan Eropa, tempurung kelapa atau
kayu juga sulit didapat, suplainya sangat terbatas, dan dengan harga yang cukup
tinggi. Sehingga dari sisi ekonomi tentu sangat mereka perhitungkan. Sementara
tulang babi tersedia melimpah, dan dengan harga yang murah. Tentu ini menjadi
sangat menggiurkan. Apalagi bagi mereka relatif tidak ada pertimbangan
halal-haram dengan kaidah agama seperti yang kita yakini.
Tidak Boleh Ada Intifa’
Sumber : Republika |
Para ulama di Komisi Fatwa (KF) MUI, jelasnya pula,
telah menetapkan fatwa, tidak boleh ada Intifa’
atau pemanfaatan bahan dari babi dalam
proses produksi dan pengolahan produk pangan. Maka proses sertifikasi halal
yang dilakukan oleh LPPOM MUI dan penetapan fatwa halal oleh KF MUI merupakan
satu usaha untuk memastikan bahan-bahan dan proses yang dilakukan dalam
produksi pangan, obat-obatan dan kosmetika benar-benar tidak mengandung unsur
yang haram menurut syariah.
Sedangkan bagi pihak perusahaan, landasan untuk
menjamin produksi yang halal ini, menurutnya lagi, adalah dengan memahami dan
mengimplementasikan Sistim Jaminan Halal yang konsisten. Dengan demikian, SJH
dengan pelatihan yang diselenggarakan oleh LPPOM MUI ini merupakan bagian dari
upaya menjamin produksi halal yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Sumber : LPPOM MUI
0 comments:
Posting Komentar