Antibiotika adalah obat untuk mencegah dan
mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Sebagai salah satu jenis obat
umum, antibiotika banyak beredar di masyarakat. Hanya saja, masih ditemukan
perilaku yang salah dalam penggunaan antibiotika yang menjadi risiko terjadinya
resistensi antibiotik, diantaranya: peresepan antibiotik secara berlebihan
oleh tenaga kesehatan; adanya anggapan yang salah di masyarakat bahwa
antibiotik merupakan obat dari segala penyakit; dan lalai dalam menghabiskan
atau menyelesaiakan treatment antibiotik.
Menanggapi
pemberitaan yang mengemuka mengenai resistensi antibiotika, Kepala Biro
Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI, drg. Oscar Primadi, MPH,
mengajak masyarakat untuk bijak dalam mengonsumsi antibiotika.
“Masyarakat tidak boleh membeli
antibiotik sendiri tanpa ada resep dari dokter. Apabila sakit harus berobat di
fasilitas pelayanan kesehatan. Antobiotik harus diminum sampai tuntas dan
teratur sesuai anjuran dokter,”
tegas drg. Oscar di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Selasa sore
(19/4).
Lebih lanjut
dijelaskan oleh penanggung jawab resistensi antimikroba WHO Indonesia, dr. Dewi
Indriani, resistensi antibiotik terjadi saat reaksi bakteri terhadap
antibiotika tidak sebagaimana harusnya, sehingga antibiotika tidak ampuh lagi.
“Kita mengkhawatirkan terjadinya
era post antibiotic, dimana penyakit sederhanya yang sebenarnya bisa
disembuhkan antibiotik malah jadi berbahaya,” jelas dr. Dewi dalam kegiatan media
briefing bertajuk “One Heath Approach: Strategi Kurangi Maraknya Bakteri
Kebal Antibiotik” yang diselenggarakan di Balai Kartini, Jakarta, selasa pagi
(19/4).
Jika masalah
resistensi antibiotika tidak segera ditangani, para pakar memperkirakan bahwa
pada tahun 2050, lebih kurang 10 juta orang di dunia meninggal karena
resistensi antibiotika.
“Resistensi antibiotika mengakibatkan
biaya kesehatan menjadi lebih tinggi karena penyakit lebih sulit diobati;
butuhkan waktu perawatan yang lebih lama; dan membawa risiko kematian yang
lebih besar,” tambah
dr. Dewi.
Sementara
itu, anggota Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) yang juga
merupakan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Prof. Dr. dr
Kuntaman, MS., Sp.MKK, mengatakan bahwa masyarakat harus memahami, demam memang
tanda adanya infeksi di dalam tubuh. Namun, tidak semua infeksi disebabkan oleh
bakteri, sehingga tidak semua infeksi membutuhkan antibiotika.
“Semisal
pasien patah tulang karena kecelakaan, demam (panas) badannya., terapinya
analgesik dan antipirektik, bukan antibiotik. Contoh lain, bakteri E-coli di
tubuh kita dalam jumlah tertentu bermanfaat, namun bila jumlahnya terlalu
banyak menyebabkan diare. Jika benar karena itu, boleh gunakan antibiotik,
meskipun sebenarnya diare ada yang butuh antibiotik ada juga yang tidak,” tutur
Prof. Kuntaman.
Belum banyak
diketahui bahwa sebenarnya sifat resisten pada bakteri awalnya tidak merugikan,
justru merupakan penyeimbang kehidupan. Namun, perilaku penggunaan antibiotika
secara berlebihan mengakibatkan sifat resisten yang semula menguntungkan
manusia justru berbalik menjadi ancaman.
“Mikroflora atau bakteri baik yang
ada di dalam tubuh kita, berfungsi sebagai vaksin alami. Namun, resistensi
antibiotika menyebabkan proteksi tubuh melemah, sehingga bakteri yang
seharusnya menjadi sahabat justru menjadi sumber penyakit. Ini dinamakan
infeksi opportunistic”,
terang Prof. Kuntaman.
Menutup
kegiatan tersebut, Prof. Kuntaman menyatakan bahwa dibutuhkan
perubahan mindset masyarakat dan tenaga kesehatan agar tidak
sembarangan gunakan antibiotika. Selain itu, dikemukakan bahwa hasil berbagai
riset terkait resistensi antimikroba yang tengah dilakukan menjadi dasar bagi
KPRA untuk mengajukan pedoman kepada pemerintah, khususnya Kementerian
Kesehatan dalam upaya meningkatkan penggunaan antibiotika secara bijak serta
membuat peraturan terkait pembatasan penggunaaan antibiotika di Indonesia.
“Peraturan tersebut antara lain
mencakup pelarangan apotek untuk menjual antibiotika tanpa resep dan
membatasi masyarakat untuk menggunakan obat-obatan tanpa resep dokter”, tandas Prof. Kuntaman.
Resistensi
antibiotika menjadi fokus dunia, berkaitan dengan hal tersebut, tiga hari yang
lalu (16/3), para Menteri Kesehatan yang berasal dari 12 negara Asia Pasifik
dalam pertemuan Tokyo Meeting of Health Ministers on Antimicrobial
Resistance in Asia, bersepakat untuk pengendalian Resistensi Antibiotika atau
Anti Microbial Resistance (AMR) secara terpadu dan kolaboratif. Masalah
resistensi antibiotika ini berkembang menjadi ancaman serius terhadap keamanan
global, ketahanan pangan, serta tantangan pembangunan berkelanjutan dengan
dampak yang signifikan terhadap stabilitas ekonomi.
Tidak hanya
mengancam manusia, resistensi antibiotika juga mengancam hewan dan tanaman.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan one health yang melibatkan sektor
kesehatan, pertanian (termasuk peternakan dan kesehatan hewan), serta
lingkungan.
Berita ini
disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat,Kementerian Kesehatan
RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui
nomor hotline (kode lokal) 1500-567, SMS 081281562620, faksimili
(021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.
0 comments:
Posting Komentar